Kebijakan upah minimum dihitung berdasarkan jumlah kalori?
Abstract
Apasih sebenarnya kebijakan upah minimum itu dan apa kegunaannya? Nah, di beberapa negara apalagi di
negara berkembang seperti Indonesia ini Kebijakan Upah Minimum telah menjadi isu yang
penting dalam masalah ketenagakerjaan. Sasaran dari kebijakan upah minimum ini untuk
menutupi kebutuhan hidup minimum dari pekerja. Kegunaan dari kebijakan upah minimum itu sendiri untuk, menjamin penghasilan pekerja sehingga tidak lebih rendah dari suatu
tingkat tertentu, meningkatkan produktivitas pekerja, dan mengembangkan dan
meningkatkan perusahaan dengan cara-cara produksi yang lebih efisien. Bisa
disebut juga, kebijakan upah minimum harus ditetapkan untuk meningkatkan
kehidupan yang layak khususnya bagi para pekerja tetapi juga tanpa merugikan
kelangsungan hidup perusahaan yang bisa mengancam keberlanjutan kondisi ekonomi
dan produktivitas nasional (dan daerah). Tujuan penulisan ini untuk mengkaji
sejauh mana kebijakan upah minimum berusaha memenuhi kedua kepentingan tersebut
tetapi tetap sesuai dengan UUD 1945 Nomor
78 tahun 2015. Maka dari itu itu, permasalahan yang
diangkat dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1). Bagaimana
perkembangan dari pelaksanaan kebijakan Upah Minimum di Indonesia dan 2).
Bagaimana pelaksanaan kebijakan upah minimum dikaitkan dengan UUD Nomor
78 tahun 2015?
I. Pendahuluan
kali ini yaitu
tentang produk hukum pengupahan dan
ketentuan-ketentuannya yang diatur dalam Undang-Undang.
1. Menurut
Undang-Undang Nomor 78 tahun 2015 “Upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”
2. Yang dimaksud
Kebijakan pengupahan menurut Undang-Undang Nomor 78 tahun 2015 pasal 3 ayat 2
yaitu:
a.
Upah minimum
b.
Upah kerja lembur
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan
d.
Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya
e.
Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
f.
bentuk dan cara pembayaran Upah
g.
denda dan potongan Upah
h.
hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah
i. struktur dan skala pengupahan yang
proporsional
j. Upah untuk pembayaran pesangon dan
k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
3. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 78 tahun 2015 pasal 27 ayat 2 “Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban
terhadap negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf a tidak
melebihi 1 (satu) tahun dan penghasilan yang diberikan oleh negara sama atau
lebih besar dari Upah yang biasa diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha tidak wajib
membayar.”
II. Pembahasan
1. Pengertian Produk Hukum
Pengupahan
1.1 Apakah Sebenarnya Produk hukum
Pengupahan
Upah Minimum adalah suatu
penerimaan bulanan minimum (terendah) sebagai imbalan dari pengusaha kepada
karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan dan
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar suatu
persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan termasuk tunjangan, baik
karyawan itu sendiri maupun untuk keluarganya. Sebagaimana yang telah diatur
dalam PP No. 8/1981 upah minimum dapat ditetapkan secara minimum regional,
sektoral regional maupun subsektoral, meskipun saat ini baru upah minimum
regional yang dimiliki oleh setiap daerah. Dalam hal ini upah minimum adalah
terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. Namun dalam peraturan pemerintah
yang diatur secara jelas hanya upah pokoknya saja dan tidak termasuk tunjangan,
sehingga seringkali menimbulkan kontroversi bagi pengusaha dan pekerja.
Tunjangan tetap sendiri adalah tunjangan yang diberikan secara tetap tanpa
melihat tingkat kehadiran pekerja ataupun output, seperti misalnya tunjangan
keluarga tetap dan tunjangan yang berdasar pada senioritas.
Menurut Undang Undang No 13
tahun 2003 disebutkan bahwa upah minimum hanya
ditujukan bagi pekerja dengan
masa kerja 0 (nol) sampai dengan 1 (satu) tahun. Dari definisi tersebut, terdapat dua unsur
penting dari upah minimum (Sumarsono, 2003) yaitu adalah:
a) Upah permulaan adalah upah
terendah yang harus diterima oleh buruh pada waktu pertama
kali dia diterima bekerja.
b) Jumlah upah minimum haruslah
dapat memenuhi kebutuhan hidup buruh secara minimal
yaitu kebutuhan untuk sandang,
pangan dan keperluan rumah tangga.
Sumarsono (2003) mengemukakan
pula bahwa upah merupakan sumber utama penghasilan seorang pekerja, sehingga upah
harus cukup memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dengan wajar. Batas kewajaran
tersebut dalam Kebijakan Upah Minimum di Indonesia dapat dinilai dan diukur dengan
kebutuhan hidup minimum (KHM) atau seringkali saat ini disebut dengan Kebutuhan Hidup Layak
(KHL).
Namun kenyataannya justru
menunjukkan bahwa hanya sedikit perusaha yang secara sadar dan sukarela terus
menerus berusaha meningkatkan penghidupan karyawannya, terutama pekerja
golongan yang paling rendah. Di pihak lain, karyawan melalui serikat pekerja
dan/atau dengan mengundang pemerintah selalu menuntut kenaikan upah. Tuntutan
seperti itu yang tidak disertai dengan peningkatan produktivitas kerja akan
mendorong pengusaha untuk :
(a) mengurangi penggunaan tenaga kerja
dengan menurunkan produksi
(b) menggunakan teknologi yang lebih
padat modal dan/atau
(c) menaikkan harga jual barang yang kemudian
justru akan mendorong inflasi.
1.2 Pengupahan Menurut Pendapat para Ahli
Tedapat beberapa definisi
pengupahan menurut para ahli yaitu sebagai berikut :
- Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional
Upah
ialah suatu penerimaan sebagai suatu kerja berfungsi sebagai suatu jaminan
kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produktifitas yang
dinyatakan dalam nilai atau bentuk yang ditetapkan menurut suatu persetujuan
Undang-Undang dan peraturan yang dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pemberi kerja dengan penerima kerja.
- Hadi Purwono
Gaji (salary) biasanya dikatakan upah (wages) yang dibayarkan kepada pimpinan, pengawas, dan
tata usaha pegawai kantor atau manajer lainnya. Gaji umumnya tingkatnya lebih
tinggi dari pada pembayaran kepada pekerja upahan. Upah adalah pembayaran
kepada karyawan atau pekerja yang dibayar menurut lamanya jam kerja dan diberikan
kepada mereka yang biasanya tidak mempunyai jaminan untuk dipekerjakan secara
terus-menerus. (Hadi Purwono, 2003, 2).
- Dari definisi
Gaji dan upah di atas maka dapat disimpulkan bahwa gaji merupakan pengganti
jasa bagi tenaga-tenaga kerja dengan tugas yang sifatnya lebih konstan.
Ditetapkan melalui perhitungan masa yang lebih panjang misalnya bulanan,
triwulan atau tahunan. Sedangkan upah adalah pembayaran atas penyerahan jasa
yang dilakukan oleh karyawan berdasarkan jumlah pekerjaan yang telah diselesaikan
misalnya jumlah unit produksi.
1.3 Unsur – Unsur Hukum Pengupahan
Unsur – unsur dari hukum
pengupahan diantaranya meliputi :
1.
Serangkaian
perjanjian
Adanya
sebuah Perjanjian kerja yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak baik oleh
owner atau pemimpin perusahaan dan juga
oleh buruh/karyawan.
2. Adanya orang yang bekerja pada orang lain
3. Adanya balas jasa yang berupa upah.
4. Dasar perjanjian kerja :
-Kesepakatan
-Kecakapan melakukan perbuatan hukum
-Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
-Pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum.
1.4 Prinsip-Prinsip Dalam Penetapan Kebijakan Upah Minimum di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. 01/MEN/1999, paling tidak ada sepuluh
prinsip-prinsip yang harus
ditaati dalam penetapan kebijakan upah minimum di Indonesia.
(1) Upah minimum adalah upah
bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap.
(2) Upah minimum wajib dibayar
kepada bekerja secara bulanan atau dengan kesepakatan
antara pekerja dan pengusaha
misalnya untuk upah mingguan atau upah dua mingguan.
(3) Besarnya upah pekerja yang
berstatus tetap, tidak tetap, atau dalam masa percobaan
adalah serendah-rendahnya
sebesar upah minimum.
(4) Upah minimum hanya berlaku
untuk pekerja yang bekerja dibawah satu tahun.
(5) Peninjauan upah dilakukan
atas kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja dan pengusaha.
(6) Pekerja dengan sistem
borongan atau dengan satuan hasil serendah rendahnya adalah
sebesar upah minimum untuk upah
bulanannya.
(7) Upah pekerja harian lepas
ditetapkan secara bulanan berdasar hari kehadiran (dengan prorata basis).
(8) Perusahaan yang telah
memberikan upah diatas upah minimum tidak diperbolehkan
menurunkan upah.
(9) Dengan kenaikan upah
minimum, pekerja diwajibkan untuk memelihara prestasi kerja
(produktivitas) yang ukurannya
dirumuskan bersama antara pekerja dan pengusaha.
2. Tujuan Hukum Pengupahan
Tujuan pengeluaran Undang – Undang Pengupahan ini
yaitu untuk mengembalikan fungsi dari penetapan
upah minimum sebagai jaring
pengaman, sehingga pekerja bisa mendapatkan upah di atas batas minimum yang
ditetapkan. Upah minimum dikembalikan fungsinya sebagai jaring pengaman.
Sementara untuk sistem pelaksanaan pengupahan di perusahaan dilakukan melalui
struktur dan skala upah. Agar hal ini dapat terlaksana dan dapat dipatuhi oleh
semua pihak maka diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan.
Sebagaimana diketahui kondisi perekonomian saat ini
tengah menghadapi tekanan dan ujian yang sangat berat. Bukan hanya Indonesia,
tetapi hampir semua negara mengalamai kondisi perlambatan ekonomi ini. Pemerintah,
dalam menghadapi situasi ini terus berupaya menstabilkan pertumbuhan ekonomi
dengan memberlakukan salah satu paket kebijakan ekonomi jilid IV, yang
tujuannya adalah merangsang dunia investasi untuk berusaha di Indonesia.
3. Sumber Hukum
Sumber Hukum yang diambil untuk
dasar pembuatan UU Pengupahan yaitu UUD 1945.
Upah minimum harus mengacu pada
UUD tersebut yang secara jelas dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 dikatakan bahwa setiap
orang berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pekerjaan dan
penghidupan yang layak tersebutlah yang seharusnya dijadikan standar baku bagi
penetapan upah minimum. Meskipun demikian, disamping penghidupan yang layak bagi
pekerja beberapa perhitungan perlu dilakukan dalam menentukan tingkat upah
minimum, seperti misalnya menjaga produktivitas usaha dan keberlanjutan kondisi
ekonomi nasional.
4. Peraturan Perundang – Undangan
Pengupahan
Nomor 78 tahun 2015
Pasal 1
(1)
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksud dengan: 1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.
Pasal 3 (1)
Kebijakan pengupahan diarahkan untuk
pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh.
Pasal 27 (2)
Pekerja/Buruh yang menjalankan
kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf a
tidak melebihi 1 (satu) tahun dan penghasilan yang diberikan oleh negara sama
atau lebih besar dari Upah yang biasa diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha tidak
wajib membayar.
5. Perkembangan Penetapan Upah Minimum di Indonesia
5.1 Upah Minimum di Indonesia Sebelum Otonomi Daerah
Kebijakan upah minimum di
Indonesia pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1970an
(Rama, 2001 dan Suryahadi dkk,
2003). Meskipun sudah memiliki sejarah yang cukup panjang,implementasi dari
kebijakan upah minimum ini tidak begitu efektif pada awal-awal
pelaksanaan.Dalam periode tersebut upah minimum ditetapkan jauh berada dibawah
tingkat keseimbangan upah menunjukkan bahwa upah minimum tidak mengikat bagi
sebagian besar pekerja (Sugiyarto dan Endriga, 2008). Lebih lanjut, Sugiyarto
dan Endriga (2008) menegaskan bahwa upah minimum di Indonesia relatif tidak
dipaksakan dan digunakan hanya sebagai tujuan yang bersifat simbolis.
Kebijakan upah minimum mulai
digunakan sebagai instrument yang penting bagi kebijakan
pasar tenaga kerja oleh
pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1980an. Hal ini berawal dari
adanya tekanan internasional
sehubungan dengan pelanggaran terhadap standart kerja
Internasional di Indonesia pada
saat itu, secara khusus pada sector-sektor usaha yang berorientasi ekspor
(Rama, 2001 dan Suryahadi dkk, 2003). Secara lebih spesifik, sebuah perusahaan multinasional
terkenal milik Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia pada waktu itu diprotes
oleh sebuah organisasi persatuan perdagangan Amerika Serikat (AFL-CIO) dan juga
oleh beberapa aktivis hak asasi manusia internasional akibat penetapan upah
yang rendah dan kondisi kerja yang buruk (Gall, 1998). Dalam kasus ini, tekanan
internasional telah memaksakan untuk terciptanya sebuah klausa sosial yang
disebut juga dengan General Scheme Preferences (GSP) yang mana berisi penolakan
atas produk dari negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, dimana
standar kerjanya masih berada di bawah standar yang diakui secara
internasional.
Dalam prakteknya, kondisi ini
memaksa pemerintah Indonesia untuk mau tidak mau menjadi lebih perhatian
terhadap kebijakan ketenagakerjaan mereka, termasuk didalamnya kebijakan upah
minimum. Hal ini dilakukan dengan cara menaikkan upah minimum tiga kali lipat
secara nominal (atau dua kali lipat secara riil) pada akhir tahun 1980an agar
sejalan dengan biaya Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). KFM sendiri diukur oleh
biaya dari paket konsumsi minimum, termasuk didalamnya makanan, perumahan,
pakaian, dan beberapa jenis barang yang lain untuk pekerja lajang dalam satu
bulan (Sukatrilaksana, 2002).
Adapun Kebutuhan Fisik Minimum
seorang pekerja dihitung dari kebutuhan minimum pekerja untuk kalori, protein,
vitamin dan mineral lainnya. Dengan kata lain KFM adalah kebutuhan minimum
pekerja yang dibutuhkan selama satu bulan berkaitan dengan kondisi fisiknya
dalam melakukan pekerjaan. Secara rinci kebutuhan fisik minimum pekerja adalah
sebagai berikut:
1) KFM untuk Pekerja Lajang,
yaitu 2600 kalori per hari.
2) KFM (K-0) untuk Pekerja
dengan istri tanpa anak, yaitu 4800 kalori per hari.
3) KFM (K-1) untuk Pekerja
dengan istri dan satu orang anak yaitu 6700 kalori per hari.
4) KFM (K-2) untuk Pekerja
dengan istri dan dua orang anak yaitu 8100 kalori per hari.
5) KFM (K-3) untuk Pekerja
dengan istri dan tiga orang anak yaitu 10.000 kalori per hari.
Dalam perkembangannya pengukuran
KFM sendiri kemudian direvisi pada 1996 oleh
Dewan Pengupahan Nasional dengan
membuat sebuah paket konsumsi yang lebih luas baik secara kualitas maupun kuantitas
dan dikenal dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dalam rangka untuk meningkatkan
standar hidup pekerja. Beberapa komponen juga ditambahkan seperti komponen
pendidikan dan rekreasi. Berdasarkan kebijakan Menteri Tenaga Kerja No 61/1995,
KHM diukur oleh paket konsumsi yang detail yang terdiri dari 43 jenis barang,
dimana termasuk didalamnya 11 jenis barang dalam kelompok makanan, 19 jenis
dalam kelompok perumahan, 8 jenis dalam kelompok pakaian, 5 jenis termasuk
dalam kelompok yang lain, yang mana meningkat 15% sampai 20% lebih dari KFM
dalam rupiah.
Secara umum tingkat upah minimum
di Indonesia ditetapkan pada level propinsi. Sebelum
otonomi daerah pemerintah pusat
(dalam hal ini Kementrian Tenaga Kerja) menetapkan tingkat upah minimum setiap
propinsi didasarkan pada rekomendasi dari pemerintah daerah (propinsi), sedangkan
setelah otonomi daerah (setelah tahun 2001), pemerintah daerah memiliki
kebebasan dalam menentukan tingkat upah minimumnya. Sebelum otonomi daerah,
propinsi secara umum hanya memiliki satu tingkat upah minimum dan berlaku untuk
seluruh wilayah kota/kabupaten, sedangkan setelah otonomi daerah, setiap
kota/kabupaten diberi kebebasan untuk menentukan tingkat upah minimumnya
sepanjang tidak berada di bawah tingkat upah minimum propinsi. Di beberapa
kasus, tingkat upah minimum juga dibedakan berdasarkan sektor aktivitasnya. Dalamprakteknya, empat propinsi
di Jawa dan Bali (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali)memiliki
tingkat upah minimum kota/kabupaten sedangkan daerah diluar Jawa cenderung
untuk menentukan tingkat upah minimum propinsi bagi setiap wilayah kota/kabupatennya.
5.2 Penetapan Upah Minimum Setelah Otonomi Daerah
Sejak tahun 2001, sebagai bagian
dari perubahan regim politik dari sentralisasi menjadi
desentralisasi, kewenangan
penetapan tingkat upah minimum juga dipindahkan kepada tingkat propinsi dan
kota/kabupaten yang mana bekerja sama dengan komisi upah pada tingkat daerah. Setiap komisi upah terdiri dari
perwakilan dari dinas ketenagakerjaan, pengusaha, perwakilan serikat pekerja
dan beberapa penasehat ahli dari perguruan tinggi (Manning, 2003a). Adapun tujuan
utama dari kebijakan desentralisasi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas
ekonomi, efisiensi, dan persamaan akses terhadap public services (Sugiyarto dan
Endriga, 2008). SMERU (2003) juga berpendapat bahwa desentralisasi kewenangan
ke level pemertintahan yang lebih rendah dalam penetapan UMR juga bertujuan
untuk membagi resiko dalam bernegosiasi dengan serikat pekerja di setiap
daerah, seperti misalnya demonstrasi besar ketika upah minimum naik atau
berubah. Lebih lanjut, pemerintah daerah juga dianggap lebih mengerti tentang
masalah dan kondisi ketenagakerjaan daerahnya dibandingkan pemerintah pusat
sehingga desentralisasi adalah mutlak untuk harus dilakukan.
Berdasarkan peraturan
pemerintah, pemerintah daerah pada tingkat propinsi menetapkan
upah minimum untuk setiap
wilayah daerahnya, sedangkan kota/kabupaten memiliki pilihan untuk mengikuti
atau menetapkan upah minimum diatas tingkat upah minimum propinsi tetapi tidak berada
di bawahn upah minimum propinsi (UMP). Seperti yang ditegaskan oleh Manning
(2003a), pelaksanaannya cukup bervariasi antar propinsi. Beberapa propinsi
seperti DKI Jakarta dan banyak propinsi di luar Jawa tetap menggunakan UMP
untuk upah minimum daerahnya. Disisi yang lain beberapa propinsi seperti Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali memilih untuk memiliki upah minimum
pada tingkat kota/kabupaten.
Berdasarkan peraturan
pemerintah, dalam menentukan tingkat upah minimum beberapa
komponen pertimbangannya adalah:
(a) biaya Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM)
(b) indeks harga konsumen (IHK)
(c) kemampuan, pertumbuhan dan,
keberlangsungan dari perusahaan
(d) tingkat upah minimum antar
daerah
(e) kondisi pasar kerja
(f) pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapita
Pemindahan kewenangan dalam
penetapan tingkat UMR kepada pemerintah kota/
kabupaten dalam era otonomi
daerah ini memiliki dampak yang besar terhadap trend upah minimum. Ditambah
lagi dengan adanya tekanan dari pekerja di daerah dan semakin kuatnya serikat pekerja pada level regional
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kenaikan upah minimum di banyak
propinsi di Indonesia. Secara rata-rata misalnya tingkat upah nominal telah
meningkat 30% per tahun pada 2001 dan 2002 (Suryahadi dkk, 2003). Bahkan
beberapa kasus di daerah menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum telah jauh
berada diatas kenaikan inflasi daerah, seperti contohnya di Jawa Barat dan Jawa
Timur (Manning, 2003a).
Meskipun kenaikan ini secara
umum berdasarkan pada kenaikan dari Kebutuhan Hidup
Minimum, semua ini terjadi pada
saat pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah yaitu setelah periode krisis
ekonomi 1997-1998. Dibandingkan dengan negara Asia lainnya yang memiliki tingkat
pembangunan yang hampir sama maka tingkat upah minimum rata rata di Indonesia hanya
lebih rendah daripada upah minimum di Filipina dan Thailand, tetapi secara
relatif lebih tinggi daripada upah minimum di Vietnam, Kamboja, Sri Lanka, Pakistan
dan Bangladesh.
III.
Kesimpulan
Seperti
yang telah dibahas
dapat kita simpulkan sebenarnya, kebijakan upah minimum telah mengalami
berbagai perubahan baik sebelum maupun setelah otonomi daerah. Sebelum otonomi
daerah pemerintah pusat menetapkan tingkat upah minimum setiap propinsi didasarkan
pada rekomendasi dari pemerintah daerah (propinsi). Sedangkan setelah otonomi
daerah yang diimplementasikan pada tahun 2001, pemerintah daerah memiliki
kebebasan dalam menentukan tingkat upah minimumnya. Sebelum otonomi. Propinsi
secara umum hanya memiliki satu tingkat upah minimum dan berlaku untuk seluruh
wilayah kota/kabupaten, namun setelah otonomi daerah, setiap kota/kabupaten diberi
kebebasan untuk menentukan tingkat upah minimumnya sepanjang tidak berada di bawah
tingkat upah minimum propinsi.
Referensi :
Komentar
Posting Komentar