Hukum Indonesia Runcing Kebawah Tumpul Keatas
Abstract :
Apasih pengertian dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)? Nah jadi, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum yang mana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi ramai dibicarakan, ketika bergolaknya kasus warga sipil yaitu Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Kasus penuduhan penyemaran nama baik dan penghinaan itu membawa banyak perhatian netizen. Kini kasus tersebut berujung pada perseturuan di meja hijau. Hingga kini, kontroversi masih kerap terjadi. Menurut saya alasan utamanya adalah terkekangnya hak untuk berpendapat, sehingga masyarakat seakan-akan tidak memiliki tempat lagi untuk saling berkeluh kesah. Akhirnya, hal itu membuat lahirnya opini, siapa yang berani menulis pedas, maka harus siap dihadapkan pada pasal-pasal UU ITE itu yang padahal konsumen mempunyai hak untuk menuangkan keluh kesahnya jika tidak mendapatkan pelayanan dengan baik.
BAB 2
HUKUM PERDATA
1. HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
1.1 SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
Bermula di Eropa Konential berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi sebagai hukum asli karena keadaan hukum di Eropa kacau-balau, dimana tiap daerah mempunyai peraturan sendiri dan juga berbeda-beda.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata bernama “Code Civil des Francais” atau “Code Napoleon”.
Code Civil dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat, Pothies, Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jernonia, dan Hukum Cononiek.
Terbentuknya bw (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de Commerce.
Pada tahun 1948, kedua Undang-Undang produk nasional-Nederland berlaku di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).
Sampai sekarang dikenal dengan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek) dan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
Sejarah singkat dalam UU ITE yaitu UU ITE mulai dirancang pada bulan Maret 2003 oleh kementerian Negara komunikasi dan informasi, pada mulanya RUU ITE diberi nama undang-undang informasi komunikasi dan transaksi elektronik oleh Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, serta bekerja sama dengan Tim dari universitas yang ada di Indonesia yaitu Universitas Padjajaran (Unpad),Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI).
Pada tanggal 5 september 2005 secara resmi Presiden Bambang Yudhoyono menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat No.R/70/Pres/9/2005. Dan menunjuk Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia) sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan bersama dengan DPR RI.
Dalam rangka pembahasan RUU ITE Departerment Komunikasi dan Informasi membentuk. Tim Antar Departemen (TAD).Melalui Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri No.: 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23 Januari 2007. Bank Indonesia masuk dalam Tim Antar Departemen (TAD) sebagai Pengarah (Gubernur Bank Indonesia), Nara Sumber (Deputi Gubernur yang membidangi Sistem Pembayaran), sekaligus merangkap sebagai anggota bersama-sama dengan instansi/departemen terkait.
Dewan Perwakilam Rakyat (DPR) merespon surat Presiden No.R/70/Pres/9/2005. Dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10 (sepuluh) Fraksi di DPR RI. Dalam rangka menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) atas draft RUU ITE yang disampaikan Pemerintah tersebut, Pansus RUU ITE menyelenggarakan 13 kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak, antara lain perbankan,Lembaga Sandi Negara, operator telekomunikasi,aparat penegak hukum dan kalangan akademisi.Akhirnya pada bulan Desember 2006 Pansus DPR RI menetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebanyak 287 DIM RUU ITE yang berasal dari 10 Fraksi yang tergabung dalam Pansus RUU ITE DPR RI.
Tanggal 24 Januari 2007 sampai dengan 6 Juni 2007 pansus DPR RI dengan pemerintah yang diwakili oleh Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia) membahas DIM RUU ITE.Tanggal 29 Juni 2007 sampai dengan 31 Januari 2008 pembahasan RUU ITE dalam tahapan pembentukan dunia kerja (panja).sedangkan pembahasan RUU ITE tahap Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang berlangsung sejak tanggal 13 Februari 2008 sampai dengan 13 Maret 2008.
18 Maret 2008 merupakan naskah akhir UU ITE dibawa ke tingkat II sebagai pengambilan keputusan.25 Maret 2008, 10 Fraksi menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani naskah UU ITE menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008.
1.2 PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Dalam arti luas meliputi Hukum Privat materiil (lawan dari Hukum Pidana). Hukum Privat materiil (Hukum Sipil) lebih umum dengan Hukum Perdata untuk segenap Hukum Privat materiil (Hukum Perdana Menteri) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur (hak dan kewajiban) hubungan antar perseorangan di masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan secara timbal balik.
Hukum Perdata Formil (Hukum Acara Perdata) ialah hukum (proses data) yang memuat segala peraturan yang mengatur cara melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata. Dalam arti sempit juga dikenal lawan Hukum Dagang.
Pengertian dari UU ITE itu sendiri yaitu UU yang Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi, dan juga melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Undang-Undang ITE ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal. Yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.
Secara teknis perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada UU ITE ini dapat dilakukan, antara lain dengan :
a. melakukan komunikasi, mengirimkan, memancarkan atau sengaja berusaha mewujudkan hal-hal tersebut kepada siapa pun yang tidak berhak untuk menerimanya.
b. sengaja menghalangi agar informasi dimaksud tidak dapat atau gagal diterima oleh yang berwenang menerimanya di lingkungan pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
a. melakukan komunikasi, mengirimkan, memancarkan atau sengaja berusaha mewujudkan hal-hal tersebut kepada siapa pun yang tidak berhak untuk menerimanya.
b. sengaja menghalangi agar informasi dimaksud tidak dapat atau gagal diterima oleh yang berwenang menerimanya di lingkungan pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
2 faktor kemajemukan Hukum Perdata di Indonesia :
1. Faktor Ethnis
Disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat bangsa Indonesia, karena terdiri dari berbagai suku bangsa.
2. Faktor Hostia Yuridis (Pasal 163.I.S.)
a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan
b. Golongan Bumi Putera (pribumi/bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
c. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab)
Hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan :
a. Golongan Eropa berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di Belanda berdasarkan azas konkordansi.
b. Golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) berlaku Hukum Adat mereka yaitu hukum yang sejak dulu berlaku di rakyat dimana sebagian besar belum tertulis namun hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
c. Golongan timur asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum masing-masing dengan catatan golongan Bumi Putera dan Timur Asing diperbolehkan menundukkan diri pada Hukum Eropa Barat.
Golongan warga negara berlainan satu dengan yang lain :
a. Golongan bangsa Indonesia Asli
Berlaku Hukum Adat yaitu yang sejak dulu berlaku di kalangan rakyat, sebagian besar masih belum tertulis tetapi hidup di masyarakat.
b. Golongan warga negara bukan asli (Tionghoa dan Eropa)
Berlaku kitab KUHP (Burgerlijk Wetboek) dan KUHD (Wetboek Van Koophandel) dengan pengertian bagi golongan Tionghoa ada suatu penyimpangan yaitu bagia 2 & 3 dari TITEL IV dari buku I tentang :
- Upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai penahanan pernikahan. Tidak berlaku bagi golongan Tionghoa karena diberlakukan khusus yaitu Burgerlijk Stand dan peraturan mengenai pengangkatan anak (adopsi).
Golongan bukan dari Tionghoa atau Eropa (Arab, India, dan lainnya) berlaku BW yaitu Hukum Kekayaan Harta Benda (Vermorgensrecht), tidak mengenai Hukum Kepribadian, Kekeluargaan dan Hukum Warisan.
Pasal 131 (I.S) (Indische Staatregeling), sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal 75 RR (Regeringsregklement) :
1. Hukum Perdata dan Dagang, Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Acara Pidana harus diletakkan dalam Kitab Undang-Undang yaitu di Kodifikasi.
2. Golongan bangsa Eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di Belanda (sesuai azas Konkordasi).
3. Golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab,dll) jika kebutuhan kemasyarakatan dikehendaki, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku.
4. Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, selama belum ditundukkan di bawah peraturan bersama bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.
5. Sebelumnya hukum bangsa Indonesia ditulis di Undang-Undang, tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku yaitu Hukum Adat.
Pasal 1601-1603 lama dari BW yaitu perihal :
- Perjanjian kerja perburuhan : (staatblat 1879 no 256) pasal 1788-1791 BW perihal hutang-hutang dari perjudian (straatsblad 1907 no 306)
- Beberapa pasal dari WVK (KUHD) yaitu sebagian besar dari Hukum Laut (Stratsblad 1933 no 49)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
KETENTUAN UMUM
Pasal I
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah sdtu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (ED4, surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
1.3 SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematika Hukum Perdata (BW) ada 2 pendapat. Pendapat yang pertama, dari pemberlaku Undang-Undang berisi :
Buku I : Berisi mengenai orang. Didalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
Buku II : Berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Buku III : Berisi tentang hal perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.
Pendapat kedua menurut Ilmu Hukum/Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu :
I. Hukum tentang diri seorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagi subjek dalam hukum.
II. Hukum Kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu :
- Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan.
III. Hukum Kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
IV. Hukum Warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.
Pada UU ITE memiliki dampak terhadap pemberlakuan UU ini yaitu ada dampak positif ada juga dampak negatif. Dampak positif dari pemberlakuan UU ITE ini yaitu, misalnya memberikan peluang bagi bisnis baru bagi para wiraswastawan di Indonesia karena penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia. Otomatis jika dilihat dari segi ekonomi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain pajak yang dapat menambah penghasilan negara juga menyerap tenaga kerja dan meninggkatkan penghasilan penduduk.
Sedangkan dampak negatif dari pemberlakuan UU ITE ini yaitu seperti contoh kasus Prita Mulyasari yang berurusan dengan Rumah Sakit Omni Internasional juga sempat dijerat dengan undang-undang ini. Prita dituduh mencemarkan nama baik lewat internet. Padahal dalam undang-undang konsumen dijelaskan bahwa hak dari konsumen untuk menyampaikan keluh kesah mengenai pelayanan publik. Dalam hal ini seolah-olah terjadi tumpang tindih antara UU ITE dengan UU konsumen.
2. SUBJEK DAN OBJEK HUKUM
2.1 ORANG SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Subjek Hukum ialah segala sesuatu yang pada dsarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lau lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian Subjek Hukum ialah manusia atau orang (naturlijke person). Dan badan hukum (vichtperson) misalnya PT, PN, Koperasi, dll.
Perihal kematian perdata yang bunyinya : jo UUDS th 1950 pasal 15. Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak kewarganegaraan.
Ada beberapa golongan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan tidak cakap atau kurang cukup untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum itu. Mereka adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa atau masih dibawah umur
Oleh KUHP (BW) yang dimaksud ialah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan tidak kawin.
2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengawasan (Curatele) yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya, atau kuratornya.
Karena badan-badan hukum dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan tersendiri. Dan ikut sertanya badan hukum dan perkumpulan itu yaitu melalui pengurus tersebut, dapat digugat dan menggugat dimuka hakim melalui pengurus.
Subyek dalam UU ITE ini antaralain :
1. Orang Perorang
2. Badan Hukum ( PT.Koperasi, Firma, yayasan)
3. Badan Usaha non Hukum ( Sekolah,Rumah Sakit, Usaha dagang, CV dan lainnya)
4. Badan ( Grup di FB, Fan Page , dan lainnya yang ada pengurus,Blog group)
baca Pasal 1 angka 20, " Masyarakat"
Menurut Soerjono Soekanto ( Pengantar Sosiologi) dalam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :
1. Berangotakan minimal dua orang.
2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
5. Pemerintah.
2.2 OBYEK HUKUM
Objek Hukum adalah segala sesuatu yang berada didalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subjek hukum berdasarkan hak/kewajiban yang dimilikinya atas objek hukum yang bersangkutan.
Misalnya segala macam benda, hak atas sesuatu dan sebagainya, yang cara peralihannya berdasarkan hukum (umpamanya berdasarkan jual beli sewa menyewa, waris mewaris, perjanjian dsb)
Objek dalam UU ITE ini adalah Email, Chatting, In Box atau yang sejenis, akun FB beserta group, fan page, halaman komunitas atau yang sejenis, gambar, tulisan, video , siluet, Ikon atau sejenis.
BAB 3
HUKUM KEBENDAAN
1. HAK EIGENDOM ATAS TANAH MENURUT B. W
Peraturan-Peraturan Burgerlijk Wetboek yang mengatur tentang Hak Eigendom dan hak-hak lain atas tanah pada umumnya hanya berlaku bagi warga negara Indonesia yang berbangsa Eropa, Tiong Hoa, Arab dan Timur asing lainnya. Akan tetapi Hak Eigendom dan hak-hak lain atas tanah menurut B. W dapat dimiliki oleh warga negara asli Indonesia, yaitu cara jual beli, tukar menukar, penghibahan, warisan, dan lain-lain sebagainya. Menurut hukum Intergentiel sudah lazim dianggap, bahwa bagi tanah eigendom dan lain-lain itu, di tangan siapapun juga, berlakulah peraturan-peraturan yang bersangkutan dari Burgerlijk Wetboek. Maka, bagi orang-orang asli Indonesia juga harus mengetahui peraturan B. W. Mengenai hak eigendom dan hak-hak tanah lainnya.
Pasal 570 B. W menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak, yang mempunyai 2 unsur seperti halnya hak milik atas Hukum Adat, yaitu:
a. Hak untuk memungut hasil atas kenikmatan sepenuhnya dari suatu barang.
b. Hak untuk menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual, menukarkan, menghibahkan, dan lain-lain sebagainya.
Dalam sistem Burgerlijk Wetboek hak eigendom adalah hak atas suatu barang, yang pada hakikatnya selalu bersifat sempurna, akan tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian, melainkan ada kemungkinan seringkali dikurangi (uitgehold) dengan adanya hak-hak lain dari orang lain atas barang itu.
• Sifat Perbedaan
Hak eigendom oleh Burgerlijk Wetboek diatur dalam buku 2 dan disitu bersama dengan hak-hak lainnya merupakan segerombolan merupakan sekelompok hak-hak yang bersifat perbedaan. Artinya hak perbedaan atas suatu benda itu merupakan kekuasaan langsung dari seorang atas suatu benda.
• Sifat Mutlak
Hak eigendom dan hak-hak lain yang diatur dalam buku 2 B. W adalah bersifat mutlak dalam arti bahwa hak-hak ini dapat diperlakukan terhadap siapapun juga yang mengganggu terlaksananya hak-hak itu. Sedangkan dalam hal tegor oleh sipemilik eigendom dan si penyewa hanya dapat meminta tolong pada si pemilik eigendom, supaya menegor si pengganggu itu.
• Pembatasan Hak Eigendom
Pembatasan hak eigendom terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Berdasarkan atas hak-hak orang lain
Dalam pembatasan ini, dapat ditetapkan oleh undang-undang juga misalnya titel 4 buku 2 B. W ( pasal 625-672 ), mengenai berbagai peraturan tentang hak-hak dan kewajiban para pemilik pekarangan yang bersampingan atau berdekatan satu sama lain atau bisa di sebut Hukum Tetangga. Disamping penetapan undang-undang ini ada hakikat umum yang membatasi hak eigendom itu yaitu, dalam pemakaian hak eigendom seorang pemilik harus memperhatikan kepentingan orang menurut lalu lintas kesusilaan yang berada dalam masyarakat tertentu. Maka, pembatasan eigendom ini pun pada umumnya disebutkan sebagai hal memperhatikan kepentingan-kepentingan orang-orang perseorangan lain.
b. Berdasarkan atas ketentuan-ketentuan belaka dari undang-undang (pasal 570 B.W)
Pasal 570 B.W disebutkan sebagai pembatasan hak eigendom yang berdasarkan atas penentuan undang-undang belaka, sebetulnya juga berdasarkan atas kepentingan orang lain. Hanya saja hal ini tidak disebutkan dalam pasal-pasal dari suatu undang-undang yang bersangkutan. Pada akhirnya bagi hak eigendom ini berlaku juga penentuan pasal 26 ayat 3 undang-undang dasar sementara, yang mengatakan bahwa, hak milik adalah fungsi sosial.
Pada UU no 11 tahun 2008 tentang UU Interaksi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa :
Pasal 7 “Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau meniolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.”
Contoh kasus dari pelanggaran UU ITE itu sendiri seperti kasus Prita Mulyasari yang merupakan kasus pelanggaran terhadap UU ITE yang mengemparkan Indonesia. Nyaris berbulan-bulan kasus ini mendapat sorotan masyarakat lewat media elektronik, media cetak dan jaringan sosial seperti facebook dan twitter.
Prita Mulyasari menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Prita dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 thn dan/atau denda maksimal 1 milyar rupiah. Sebelumnya, seorang wartawan bernama Iwan Piliang diduga mencemarkan nama baik seorang anggota DPR melalui tulisannya di internet dan dijerat dengan pasal yang sama.
Atas kasus yang menimpa Prita Mulyasari dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap RS. Omni International, berikut ini pendapat hukum dari saya:
1. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”.
Pertimbangan Mahkamah tersebut dapat diartikan bahwa penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan Pasal 311. Dengan demikian, jika nanti perbuatan Prita Mulyasari terbukti tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE . dibawah ini adalah petikan dari UU ITE :
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 45 ayat (1) UU ITE
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 310 KUHP
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
2. Dalam e-mail Prita yang ditujukan kepada teman-temannya, Prita menuliskan kalimat awal berbunyi sebagai berikut:
“Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan”
Dan kalimat terakhir berbunyi”
“saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.”
Dari kedua kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa Prita menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati atas pelayanan rumah sakit dan jangan terpancing dengan kemewahannya. Prita sengaja menulis pesan tersebut dengan maksud untuk memberi pelajaran penting kepada orang lain demi kepentingan umum untuk lebih berhati-hati/waspada terhadap pelayanan rumah sakit agar tidak terjadi seperti apa yang menimpanya. Jadi, Prita tidak dapat dikatakan melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, karena pesan yang disampaikan untuk kepentingan umum. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bahwa “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.
1.1. Cara Mendapatkan Hak eigendom atas Tanah
Menurut pasal 548 B.W cara-cara mendapatkan hak eigendom atas tanah, adalah:
a. Pencakupan dengan barang lain menjadi satu benda
Sebagai peraturan umum, pasal 588 B.W mengatakan, bahwa segala sesuatu yang dikumpulkan dengan satu benda x, sehingga mewujudkan satu benda, adalah milik dari pemilik benda x.
Pokoknya, soal ini mengenai sebidang tanah yang diperluas dengan tambahan tanah lain, atau yang di dalamnya tumbuh berbagai tanaman atau yang diatasnya terdapat bangunan-bangunan. Dalam hal ini, tanah tambahan, tanaman dan bangunan, tidak dapat dikatakan merupakan suatu benda sendiri, melainkan seolah-olah dilebur oleh sebidang tanah yang semula menjadi satu. Jadi, seolah-olah lenyap menjadi benda tersendiri.
b. Mewarisi
Kalau pemilik eigendom itu orang Indonesia asli. Maka berlaku cara mewarisi menurut Hukum Adat, seperti halnya hak milik atas tanah menurut hukum Adat di daerah-daerah, dimana Hak Peraturan dari Persekutuan Desa itu tipis atau sama sekali tidak ada lagi, sebagaimana di atas sudah pernah dikatakan.
Kalau pemilik eigendom itu orang Eropah atau Tionghoa, maka berlakulah pasal-pasal Burgerlijk Wetboek bagian hukum warisan (Titel-titel Buku II B.W.). Pasal pokok dari peraturan ini, ialah pasal 833 B.W., yang menentukan bahwa para ahli waris dengan sendirinya (van rechtswege) menerima hak-hak dari yang meninggal dunia. Jadi juga hak eigendom atas tanah.
Kalau pemilik tanah orang arab, maka berlakulah Hukum adat mereka yang pratis sama dengan hukum islam.
c. Penyerahan barang yang mengikuti perjanjian untuk memindahkan hak eigendom
Tentang hal ini ada tiga sistem :
1. Sistem Perancis yang hanya mengenal satu persetujuan, yaitu persetujuan jual beli yang sudah mengakibatkan si pembeli menjadi pemilik barang yang dibeli, dengan tidak prlu adanya suatu penyerahan.
2. Sistem Hukum Adat, yang juga hanya mengenal satu persetujuan, yaitu persetujuan jual beli. Yang dinamakan persetujuan juual beli ini, adalah penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli dengan penerimaan oleh penjual dari pembeli sejumlah uang pembelian. Dengan penyerahan ini tentunya hak milik atas barang itu berpindah kepihak pembeli.
Dalam UU yang tersebut belakangan ini, juga dialihkan kepada Menteri Agraria atau kekuasaan Menteri Kehakiman, yang diberikan oleh UU no. 28 tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah perkebunan, yaitu untuk memberi izin pemindahan hak dan setiap serah pakai buat lebih dari satu tahun mengenai tanah-tanah :
a) Erfpacht,
b) Eigendom dan hak-hak kebenaran lainnya atas tanah untuk perkebunan bangsa Bangsa Asing lainnya serta dari badan-badan hukum.
d. Lampau waktu
Lampau waktu (verjaring) sebagai cara mendapatkan eigendom atas tanah diatur dalam Burgerlijk Wetboek secara teliti. Maksud peraturan lampau ini ialah untuk menghentikan keragu-raguan hukum tentang siapakah yang selayaknya harus dianggap pemilik eigendom atas tanah, dalam hal tiada adanya kepastian 100% tentang hak eigendom itu.
Syarat-syarat itu dapat diperinci sebagai berikut :
a. Si A harus memegang tanah itu dengan kemauan untuk memiikitanah itu bagi dirinya sendiri (pengertian “bezit” dari B.W. yang jugadinakan “civil bezit, pasal 529 B.E.). Kalau misalnya A hanya menyewa tanah itu dari pemilik B, atau hanya mempunyai hak mengambil hasil saja dari tanah itu, maka tidak mungkin si A akan menjelma menjadi pemilik eigendom, meskipun ia memegang tanah itu selama 100 tahun,
b. Pemegang secara “civil bezit” ini harus secara tegas, tidak ragu-ragu. Suatu contoh dari pemegangan secara ragu-ragu, di kemukakan oleh Asser Scholten dalam bukunya “Zaekenrecht” : Terang buku si S dulu, sudah lebih dari 30 tahun hingga sekarang, adalah pemilik eigendom atas ebidang tanah.
c. Lampau waktu tidak dapat dipergunakan.
Tenggang 20 tahun dari lampau waktu
Pasal 1963 ayat 1 B.W. menentukan antra lain, bahwa seorang yang mendapat (“verkrijk”), sebidang tanah secara jujur dan berdasarkan atas suatu sumber yang sah (“weigwe titel”), akan mendapat hak eigendom atas tanah itu dengan suatu “bezit” selama 20 tahun.
Perhatian lampau waktu (sluting der verjaring)
Ada dua macam penghentian lampau waktu yaitu:
1. Kalau hal pemegang barang oleh yang akan mendapat hak eigendom terhenti selama lebih dari satu tahun, karena diusir dari pemelik sejati atau oleh seorang ketiga (pasal 1978 B.W.). ini berhubung dengan pasal 565 b.w., yang memberikan kesempatan kepada seorang pegang saham (Bezier)yang diganggu untuk menggugat dipulihkan pemegang barang itu selama satu tahun (bexitsacties).
2. a. kalau pemegang barang itu ditegor atau digugat didepan hakim oleh pemilik sejati, asal saja hal ini diberitahukan kepada sipemegang barang (pasal 1979 B.W.).
b. kalau pemegang barang dengan mengakui dengan kata-kata atau dengan perbuatan, hak orang lain sebagai pemilik sejati (pasal 1982 B.W.).
Revindikasi (pasal-pasal 574-583 B.W.).
Revindikasi adalah semacam gugatan penting yang melekat pada hak eigendom,yang bertujuan untuk meminta kembali suatu barang eigendom,gugatan ini diajukan oleh pemilik eigendom sejati terhadap orang lain,baik yang dinamakan dirinya pemilik sejati,maupun yang merasa berhak untuk menguasai barang itu berdasarkan atas suatu hak perseorangan seperti hak sewa.
Dari gugatan revindikasi ini, harus dibedakan gugatan yang diajukan oleh pemilik eigendom dalam menguasai barang eigendom itu, seperti mendirikan rumah diatas tanah itu, atau memotong pohon-pohon dari tanah itu. Gugatan ini diatur dalam B.W. tetapi tentunya dapat diajukan dan tujuannya supaya gangguan tersebut dihentikan. Dalam hal memotong pohon-pohon, gugatan praktisnya hanya dapat merupakan permohonan supaya Hakim melarang tergugat untun meneruskan pemotongan tanaman dan untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penggugat sebagai akibat dari pemotongan itu,. Gugatan semacam ini dapat didasarkan pada perbuatan melanggar hukum (onrectmatige daad). Tetapi hanya kalau tergugat tidak jujur. Kalau ia jujur, lazimnya gugatan dapat didasarkan atas adanya hak eigendom belaka.
Lanjutan dari kasus Prita Mulyasari karena pihak Rumah Sakit Omni Internasional marah, dan merasa dicemarkan. Lalu RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Dan waktu itupun Prita sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus ini kemudian banyak menyedot perhatian publik yang berimbas dengan munculnya gerakan solidaritas “Koin Kepedulian untuk Prita”. Pada tanggal 29 Desember 2009, Ibu Prita Mulyasari divonis Bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
Contoh kasus di atas merupakan contoh kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan bahwa: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.”
Sejak awal Dewan Pers sudah menolak keras dan meminta pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali keberadaan isi dari beberapa pasal yang terdapat dalam UU ITE tersebut. Karena Undang-undang tersebut sangat berbahaya dan telah membatasi kebebasan berekspresi (mengeluarkan pendapat) seseorang. Selain itu beberapa aliansi menilai : bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis, maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu.
Oleh karena itu dengan adanya hukum tertulis yang telah mengatur kita hendaknya kita selalu berhati-hati dalam berkomunikasi menggunakan media. Menurut saya dengan adanya kasus yang telah menimpa Prita menjadi tersangka atas pencemaran nama baik/ dan mendapat sanksi ancaman penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp. 1 M, kita harus lebih berhati-hati dalam menghadapi perkembangan Teknologi di era globaliosasi ini. Hendaknya kita dapat mengontrol diri kita sendiri jika akan menulis di sebuah akun. Kasus Prita ini seharusnya kita jadikan pelajaran untuk melakukan intropeksi diri guna memperbaiki sistem hukum dan Undang-undang yang banyak menimbulkan perdebatan dan pertentangan. Selain itu seharusnya pihak membuat undang-undang hendaknya lebih jelas dan lebih teliti dalam memberikan sanksi sesuai dengan aturan dalam UU yang berlaku.
Hukum yang telah ada memang kadang kurang bisa terima dengan baik dan menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Layaknya saja ketika kasus tersebut menimpa rakyat miskin. Sedangkan jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang terjadi di Negara kita, hal itu kurang sepadan dan seolah hukum menjadi kurang adil untuk kita.
2. HAK-HAK LAIN ATAS TANAH MENURUT B.W.
Tentang hubungan hak-hak lain dengan hak milik atas tanah menurut Hukum Adat, dikatakan bahwa, biasanya disamping hak-hak atas sebidang tanah ada orang lain atau persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah juga dalam sistem Burgerlijk Wetboek selalu ada pemilik eigendom atas sebidang tanah, sebal pasal 521 B.W. menentukan, bahwa tanah-tanah yang tidak dipelihara dan tidak ada “eigenar”nya, adalah kepunyaan Negara. karena itu kalau ada suatu hak lain dari pada eigendom atas sebidang tanah, maka selalu ada orang lain atau Negara yang mempunyai hak eigendom atas tanah itu.
HAK “bezit”
Soal “bezit” adalah soal istimewa dari Burgerlijk Wetboek, yang tiada taranya dalam Hukum Adat .keistimewaan peraturan bezit ini, terletak pada hal, bahwa Hukum melindungi suatu keadaan sebidang tanah, yang belum tentu berdasarkan atas suatu hak sejati. Perlindungan ini kalau perlu , juga diperlakukan berhadap-hadapan dengan seorang yang nyata mempunyai hak sejati itu, yaitu si pemilik eigendom sejati.
Menurut pasal ini ada dua unsur dari bezit,yaitu:
1. Unsur keadaan menguasai suatu barang
2. Unsur kemauan seorang pemegang barang itu untuk menguasai barang itu sebagai milik eigendom.
Unsur pertama yang mengenai keadaan, adalah hak mudah untuk dinyatakan. Dari itu tidak menimbulkan banayak kesulitan para ahli hukum dalam hal menafsirkanya. Hanya saja ada kesulitan, kalau keadaanya memperlihatkan dua orang atau lebih bersama-sama menguasai suatu barang, masing.masing semacam berlainan dari yang lain.
Gugatan yang melekat pada hak bezit.
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat. Orang-orang ini dalam hidupnya sehari-hari selalu bergaul satu sama lain.
• Pembebanan Pekarangan (“erfdientbaarheden,””servituten”)
• Hak Erfpcht
• Hak Opstal
• Hak Vruchtgebruik ( Hak memungut hasil )
• Hak memakai dan mendiami (gebruik en bewoning)
Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat.
Undang-undang Darurat tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh Rakyat no. 8 tahun 1954 yang mulai berlaku pada tanggal 12-6-1954 memungkinkan hak atas suatu tanah perkebunan (eigendom erfpacht, conceesie) dicabut oleh pemerintah dengan pemberian ganti kerugian yang ditetapkan oleh 5 menteri tersebut. Kemudian diberikan dengan satu hak kepada “rakyat dan penduduk lainnya” yang memenuhi syarat, menurut ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria (pasal 11).
Pada Kasus Prita dalam e-mail Prita juga diceritakan banyak hal seputar pengalaman dia sebagai pasien di rumah sakit Omni International. Pada intinya, Prita kecewa tidak transparansinya informasi yang dia minta kepada pihak manajemen rumah sakit tentang hasil laboratorium. Berikut petikannya :
“Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000, kepala lab saat itu adalah dr. Mimi dan setelah saya complaint dan marah-marah, dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.”
Petikan di atas menunjukkan bahwa pihak manajemen Omni memiliki catatan hasil lab 27.000 tapi tidak diberikan kepada Prita.
Cerita yang lain menunjukkan kalau Prita merasakan bahwa rumah sakit Onmi International melakukan penanganan yang keliru terhadap dirinya. Hal ini dikuatkan oleh revisi hasil lab dari 27.000 menjadi 181.000. Prita berpendapat bahwa karena hasil laboratorium thrombosit 27.000 maka dia diminta menjalani rawat inap, sedangkan hasil laboratorium sebenarnya adalah 181.000 berarti dia tidak perlu rawat inap, cukup rawat jalan. Berikut petikannya:
“Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen, atas nama Ogi (customer service coordinator) dan dr. Grace (customer service manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya. Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000 makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.”
Cerita yang lain menunjukkan bahwa sdri. Prita mengalami gangguan kesehatan yang lain akibat perawatan yang dilakukan oleh dr. Hengky, yakni tangan kiri mulai membengkak, suhu badan naik ke 39 derajat, serangan sesak napas, leher kiri dan mata kiri membengkak. Berikut petikannya:
“Tangan kiri saya mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr. Henky namun dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. Henky saja”
“Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr. Henky mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri saya.”
Cerita yang lain menunjukkan bahwa setelah sdri. Prita ditangani oleh rumah sakit yang lain menunjukkan penyakitnya bukan demam berdarah, dan suntikan yang diberikan sewaktu di rumah sakit Omni International tidak cocok dengan kondisi sdri Prita sehingga menimbulkan sesak nafas. Berikut petikannya:
“Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular, menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak, kalau kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.”
Dari cerita di atas, sdri. Prita Mulyasari sebenarnya dapat melakukan tuntutan berupa ganti rugi atas penanganan yang keliru dari rumah sakit Omni International, atau melakukan tuntutan pidana. Hal ini telah ditegaskan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999.
Perbuatan Prita Mulyasari menulis pesan lewat e-mail kepada teman-temannya tidak menunjukkan adanya motif atau niat untuk melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap rumah sakit Omni International. Dengan demikian, perbuatan sdri. Prita tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dalam pasal tersebut mensyaratkan adanya unsur “sengaja” dalam mendistribusikan infomasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sementara perbuatan sdri. Prita tidak bermaksud menghina justru menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati dengan pelayanan rumah sakit.
Pihak Kepolisian seharusnya mampu mengembangkan kasus tersebut dengan kemungkinan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh rumah sakit Omni International berupa pelayanan rumah sakit yang merugikan konsumen dengan pasien Prita Mulyasari, dan tidak langsung berfokus pada soal pencemaran nama baik.
2.1. Ketentuan-ketentuan Konvensi
Tentang hal ini cukuplah disini memuatkan pasal-pasal yang bersangkutan dari undang-undang Pokok-pokok Agraria, yaitu pasal-pasal I s/d IX sebagai berikut.
Pasal I
(1) Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
(2) Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1, yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.
(3) Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2 sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 dengan jangka waktu 20 tahun.
Pasal II
(1) Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya UU ini, yaitu : hak agra rischh eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landreijenzitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha diatas berkas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya UU ini menjadi milik tersebut dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
(2) Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2 menjadi hak guna usaha hak guna bangunan sesuai dengan peruntukkan tanahnya sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal III
(1) Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya UU ini, sejak saat tersebut menjadi guna usaha tersebut dalam pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Pada sub bab berikut saya akan mengaitkan contoh kasus Prita Mulyasari pada UU no 11 tahun 2008 tentang Interaksi dan Transaksi Elektronik.
Pasal I
1. Informasi Elektronik adalah sdtu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (ED4, surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal II
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pasal III
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Pasal IV
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meriingkatkan kesejahteraan masyarakat;
b. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
BAB 4
HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN
1. PERIHAL PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA
Perkataan “ Perikatan” ( Verbintenis ) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kpentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak warneming). Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menuntut undang-undang dapat berupa :
1. menyerahkan suatu barang
2. melakukan suatu perbuatan
3. tidak melakukan suatu perbuatan
mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang.Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perkatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
bahwa perikatan-perikatan tersebut dibawah termasuk dalam golongan-golongan natuurlijke verbintenis, boleh dikatakan sudah menjadi suatu pendapat umum:
a. Hutang-hutang yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 tidak diizinkan untuk menuntut pembayaran
b. Pembayaran bunga dalam hal pinjaman uang yang tidak semata-mata diperjanjikan, jika si berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tidak dapat memintanya kembali, kecuali jika apa yang telah dibayarnya itu melampaui bunga menurut undang-undang (6 prosen).
Perihal UU ITE dan Sumber-sumbernya melihat dari berbagai kasus maka Pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Divisi Cybercrime membuat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
Cyber Crime adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain adalah penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit, confidence fraud, penipuan identitas, pornografi anak, dll.
Walaupun kejahatan dunia maya atau cybercrime umumnya mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer sebagai unsur utamanya, istilah ini juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional di mana komputer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau memungkinkan kejahatan itu terjadi.
Contoh kejahatan dunia maya di mana komputer sebagai alat adalah spamming dan kejahatan terhadap hak cipta dan kekayaan intelektual. Contoh kejahatan dunia maya di mana komputer sebagai sasarannya adalah akses ilegal (mengelabui kontrol akses), malware dan serangan DoS. Contoh kejahatan dunia maya di mana komputer sebagai tempatnya adalah penipuan identitas. Sedangkan contoh kejahatan tradisional dengan komputer sebagai alatnya adalah pornografi anak dan judi online.
2. MACAM-MACAM PERIKATAN
Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya.di samping bentuk yang paling sederhana ini, terdapat beberapa macam perikatan lain sebagai berikut :
A. Perikatan Bersyarat (VOORWAARDELIJIK)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde).
B. Perikatan yang digantungkan Pada Suatu Ketetapan Waktu (TIJDSBEPALING).
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu, banyak sekali dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.
C. Perikatan Yang Membolehkan Memilih (ALTERNATIEF)
Ini adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
Macam-macam Pelanggaran UU ITE yaitu Selama ini dalam kejahatan konvensional, dikenal dengan adanya dua jenis kejahatan sebagai berikut :
• Kejahatan Kerah Biru (blue collar crime)
• Kejahatan Kerah Putih (white collar crime)
3. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. suat hal tertentu
4. suatu sebab yang halal
Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukim.Pada azsanya, setiap “oran yang sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pkirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang diatruh dibawah pengampunan
3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Dari sudut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan“terikat” oelh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampuan unuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab yang diikulnya dalam perbuatannya itu.
Pada UU ITE yang berkaitan dengan cybercrime, cybercrime memiliki karakteristik unik yaitu :
1. Ruang lingkup kejahatan
2. Sifat kejahatan
3. Pelaku kejahatan
4. Modus kejahatan
5. Jenis kerugian yang ditimbulkan
Dari beberapa karakteristik diatas, untuk mempermudah penanganannya maka cyber crime diklasifikasikan :
• Cyberpiracy : Penggunaan teknologi computer untuk mencetak ulang software atau informasi, lalu mendistribusikan informasi atau software tersebut lewat teknologi komputer.
• Cybertrespass : Penggunaan teknologi computer untuk meningkatkan akses pada system computer suatu organisasi atau indifidu.
• Cybervandalism : Penggunaan teknologi computer untuk membuat program yang menganggu proses transmisi elektronik, dan menghancurkan data dikomputer
4. PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bawa, apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void).Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat merka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Pada sub bab ini kaitan dengan UU ITE atau pembatalan UU ITE tidak dapat di terapkan jadi mari kita lanjutkan ke sub bab berikutnya.
5. SAAT DAN LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belaj pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sekapat itu.
Lahirnya UU ITE ini disebabkan karena berbagai kasus maka Pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Divisi Cybercrime membuat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik supaya dapat melindungi masyarakat dari tidak kejahatan (cyber crime). Jadi, ini adalah penyebab lahirnya UU ITE.
6. PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuati.
Perjanjian dari macam pertama adalah misalnya : jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai. Perjanjian dari macam kedua : perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat garasi, dan lainnya. Perjanjian dari macam yang yang ketiga adalah misalnya : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya.
UU ITE di laksanakan atau dilakukan jika terjadi cyber crime yang menyebabkan terjadinya cybercrime antara lain:
• Akses internet yang tidak terbatas
• Kelalaian pengguna komputer. Hal ini merupakan salah satu penyebab utama kejahatan komputer.
• Mudah dilakukan dengan alasan keamanan yang kecil dan tidak diperlukan peralatan yang super modern. Walaupun kejahatan komputer mudah untuk dilakukan tetapi akan sulit untuk melacaknya, sehingga ini mendorong para pelaku kejahatan untuk terus melakukan hal ini.
• Para pelaku merupakan orang yang pada umumnya cerdas, mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan fanatik akan teknologi komputer. Pengetahuan pelaku kejahatan komputer tentang cara kerja sebuah komputer jauh diatas operator komputer.
• Sistem keamanan jaringan yang lemah
• Kurangnya perhatian masyarakat dan penegak hukum.
7. WANPRESTASI
Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa belanda, yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
a. Tidak melalukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut :
1. Pemenuhan perjanjian
2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi
3. Ganti-rugi saja
4. Pembatalan perjanjian
5. Pembatalan disertai ganti-rugi
Dalam UU ITE tidak ada wanprestasi (prestasi yang buruk) hanya ada ketidak adilan dalam memberlakukan hukuman terhadap masyarakat.
8. CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
Pasal 1381 kitab undang-undang hokum perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan.
Cara-cara hapusnya perikatan itu akan dibicarakan satu persatu dibawah ini
1. Pembayaran
Nama “pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela.Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal 1332 kitab undang-undang hokum perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketuga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penyimpanan atau penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut : barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumaj atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur dagang untuk membayar hutangnya debitur tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci itu.
3. Pembaharuan hutang atau novasi
Menurut pasal 1413 kitab undang-undang hokum perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau inovasi itu, yaitu :
a. Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b. Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari pengikatannya.
4. Perjumpaan hutang atau kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau meperhitungkan hutang-piutang secara bertimbal balik antara kreditur dan debitur.
Cara-cara untuk menanggulangi aktivitas pokok dari cybercrime adalah penyerangan terhadap content, computer system dan communication system milik orang lain atau umum didalam cyberspace. Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya.
Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak memerlukan interaksi langsung antara pelaku dan korban kejahatan. Berikut ini cara penanggulangannya:
a. Mengamankan system
Tujuan yang nyata dari sebuah sistem keamanan adalah mencegah adanya perusakan bagian dalam sistem karena dimasuki oleh pemakai yang tidak diinginkan. Pengamanan sistem secara terintegrasi sangat diperlukan untuk meminimalisasikan kemungkinan perusakan tersebut. Membangun keamanan sebuah sistem harus merupakan langkah-langkah yang terintegrasi pada keseluruhan subsistemnya, dengan tujuan dapat mempersempit atau bahkan menutup adanya celah-celah unauthorized actions yang merugikan. Pengamanan secara personal dapat dilakukan mulai dari tahap instalasi sistem sampai akhirnya menuju ketahap pengamanan fisik dan pengamanan data. Pengaman akan adanya penyerangan sistem melalui jaringan juga dapat dilakukan dengan melakukan pengamanan FTP, SMTP, Telnet dan pengamanan web server.
b. Penanggulangan Global
The Organization for Economic Cooperation and Develoment (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime,dimana pada tahun 1986 OECD telah memublikasikan laporannya yang berjudul “Computer-Related Crime: Analisis of Legal Policy”.
Menurut OECD, beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
1. Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya.
2. Mengamankan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.
3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
Pemerintah juga telah berupaya untuk menanggulangi semakin maraknya cybercrime dengan diberlakukannya aspek-aspek hukum kejahatan didunia maya antara lain:
1. Asas subjective territoriality
Asas yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
2. Asas objective territoriality
Asas yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan
3. Asas nasionality
Asas yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan keswarganegaraan pelaku.
Kesimpulan :
Dilihat dari kasus Prita Mulyasari dengan adanya hukum tertulis yang telah mengatur kita hendaknya kita selalu berhati-hati dalam berkomunikasi menggunakan media. Menurut saya dengan adanya kasus yang telah menimpa Prita menjadi tersangka atas pencemaran nama baik/ dan mendapat sanksi ancaman penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp. 1 M, kita harus lebih berhati-hati dalam menghadapi perkembangan Teknologi di era globaliosasi ini. Hendaknya kita dapat mengontrol diri kita sendiri jika akan menulis di sebuah akun. Kasus Prita ini seharusnya kita jadikan pelajaran untuk melakukan intropeksi diri guna memperbaiki sistem hukum dan Undang-undang yang banyak menimbulkan perdebatan dan pertentangan. Selain itu seharusnya pihak membuat undang-undang hendaknya lebih jelas dan lebih teliti dalam memberikan sanksi sesuai dengan aturan dalam UU yang berlaku. Hukum yang telah ada memang kadang kurang bisa terima dengan baik dan menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Bayangkan saja ketika kasus tersebut menimpa rakyat miskin. Sedangkan jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang terjadi di Negara kita, hal itu kurang sepadan dan seolah hukum menjadi kurang adil untuk kita.
Dilihat dari kasus Prita Mulyasari dengan adanya hukum tertulis yang telah mengatur kita hendaknya kita selalu berhati-hati dalam berkomunikasi menggunakan media. Menurut saya dengan adanya kasus yang telah menimpa Prita menjadi tersangka atas pencemaran nama baik/ dan mendapat sanksi ancaman penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp. 1 M, kita harus lebih berhati-hati dalam menghadapi perkembangan Teknologi di era globaliosasi ini. Hendaknya kita dapat mengontrol diri kita sendiri jika akan menulis di sebuah akun. Kasus Prita ini seharusnya kita jadikan pelajaran untuk melakukan intropeksi diri guna memperbaiki sistem hukum dan Undang-undang yang banyak menimbulkan perdebatan dan pertentangan. Selain itu seharusnya pihak membuat undang-undang hendaknya lebih jelas dan lebih teliti dalam memberikan sanksi sesuai dengan aturan dalam UU yang berlaku. Hukum yang telah ada memang kadang kurang bisa terima dengan baik dan menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Bayangkan saja ketika kasus tersebut menimpa rakyat miskin. Sedangkan jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang terjadi di Negara kita, hal itu kurang sepadan dan seolah hukum menjadi kurang adil untuk kita.
Referensi :
http://www.kompasiana.com/iskandarjet/kronologi-kasus-prita-mulyasari_54fd5ee9a33311021750fb34
http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2008/11TAHUN2008UU.HTM
http://www.reskrimsus.metro.polri.go.id/
Komentar
Posting Komentar