Materi 4 : Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia
4.1 Masalah Sumber Daya Alam struktur Penguasaan
Sumber Daya Alam
Realita
hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena
hal tersebut merupakan hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan
kehidupannya (Balancing Ecosystem). Sumber daya alam terbagi dua, yaitu SDA
yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan yang dapat diperbaharui
(renewable). Keanekaragaman hayati termasuk didalam sumber daya alam yang dapat
diperbaharui. Potensi sumber daya alam hayati tersebut bervariasi, tergantung
dari letak suatu kawasan dan kondisinya. Pengertian istilah sumber daya alam
hayati cukup luas, yakni mencakup sumber daya alam hayati, tumbuhan, hewan,
bentang alam (landscape). Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam
hayati yang berlimpah ruah sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY.
Keanekaragaman hayatinya terbanyak kedua diseluruh dunia.
Wilayah
hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas,
tembaga dan mineral lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya
ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indoensia memiliki tanah dan dan area
lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1.3
persen dari wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga
yang ada di dunia, 12 persen jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung,
25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutang tropis, yang kedua setelah
Brazil (world Bank 1994). Walaupun demikian persoalan tentang pengelolaan
sumber daya alam hanya mendapat perhatian sedikit dari para pengambil
kebijakan.
Kepulauan
Indonesia yang terdiri atas 17,000 pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora
dan fauna dari dua tipe yang berbeda asal usulnya. Bagian barat merupakan
kawasan Indo-Malayan, sedang bagian timur termasuk kawasan Pacifik dan
Australia. Meski daratannya hanya mencakup 1,3 persen dari seluruh daratan di
bumi, Indonesia memiliki hidupan liar flora dan fauna yang spektakuler dan
unik. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang mengagumkan: sepuluh
persen dari spesies berbunga yang ada didunia, 12 persen dari spesies mamalia
dunia, 16 persen dari seluruh spesies reptil dan amphibi, 17 persen dari
seluruh spesies burung, dan 25 persen dari semua spesies ikan yang sudah
dikenal manusia.
Sebagian
besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja
mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk
ekosistem terkaya didunia sehubungan dengan keanekaan hidupan liarnya.
Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia-Pasific,
yaitu diperkirakan 1,148,400 kilometer persegi. Hutan Indonesia termasuk yang
paling kaya keaneka ragaman hayati di dunia. Hutan Indonesia dikenal sebagai
hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 diantaranya tidak
terdapat dibagian dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarp (jenis
kayu komersial yang paling berharga di Asia tenggara), dan diperkirakan
mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga. Indonesia juga sangat kaya akan
hidupan liar: terkaya didunia untuk mamalia (515 spesies, 36% diantaranya
endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121 spesies, 44% diantaranya
endemik), ketiga terkaya didunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies),
keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% diantaranya endemik) kelima
untuk amphibi (270 species), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga.
Lingkungan
Pesisir dan Kelautan di Indonesia Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia
mencapai 81,000 kilometer, ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia.
Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang di dunia. Ekosistem
kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung
kehidupan kumpulan spesies yang sangat besar. Indonesia memiliki hutan bakau
yang paling luas, dan memiliki terumbu karang yang paling spektakuler di
kawasan Asia. Hutan bakau paling banyak dijumpai di Pesisir Timur Sumatra,
pesisir Kalimantan, dan Irian Jaya (yang memiliki 69% dari seluruh habitat
hutan bakau di Indonesia). Sedangkan lautan biru di Maluku dan Sulawesi
menaungi ekosistem yang sangat kaya akan ikan, terumbu karang, dan organisme
terumbu karang yang lain.
Ada apa
dengan pengelolaan sumber daya alam Indonesia ?
DI SEKTOR
MIGAS :
Masalah
kebijakan tambang migas di Indonesia : Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini
banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini.
Dilihat dari angka-angka, Migas memang berkontribusi paling tinggi dibanding
sektor lain pada pendapatan (yang katanya) negara. Oleh karena itu, semua mata
jadi tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam
penambangan migas. Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas
Migas di Indonesia bersama para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang
atas kekayaan alam Indonesia.
Kesalahan
utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1
tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti penandatanganan kontrak karya
(KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul
dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi
pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya
berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemodal. Dari
kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi
lebih rendah dibanding posisi pemodal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah
tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan pertambangan yang seharusnya
patut untuk ditindak.
Sejak
tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen
Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah
merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin.
Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah “berhasil”
memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK),
Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas
konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia
. Jumlah tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang
perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun baru
sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan
eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan.
Berbagai
kasus korupsi di dunia pertambangan belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme
justru sering digunakan untuk menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi
seperti kasus mis-manajemen yang diungkap pada Habibie. Selain masalah korupsi,
banyak masalah lain yang juga belum terungkap dalam penambangan Migas. Misal saja,
hak menguasai negara yang diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses
lahirnya Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA
dengan perusahaan multinasional, rencana investasi yang diatur oleh perusahaan
multinasional. Di sisi lain,
perkembangan RUU Migas UU Migas No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang disiapkan
penggantinya oleh pemerintah. Rancangan UU ini sempat menjadi kontroversial,
karena terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara pemerintah dan DPR-RI saat
itu. Perdebatan yang mengemuka saat itu berkisar pada peran Pertamina, dan
kepentingan ekonomi negara.
Production
Sharing Contrac (Kontrak Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah
berkeinginan mengganti PSC dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak
Karya dalam pertambangan umum. Padahal semua tahu model Kontrak Kerjasama ala
Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk hasil alamnya
oleh perusahaan tambang. Perdebatan menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan
sistem kontrak, yang sangat diharapkan oleh investor.
Liberalisasi
distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk
mengikis habis monopoli di PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka
suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam
distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik. Namun ancaman
di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk
berkompetisi adalah perushaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil,
Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka
yang paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan
pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan terjadi adalah bergantinya
Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan multinasional.
Ancaman
besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga menjadi
tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi
yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional dan campur tangan mereka
lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah
ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola
adalah satu contoh terparah akan betapa buruknya intervensi perusahaan
multinasional pada keutuhan negara.
Isu
lingkungan hidup merupakan isu yang sangat marjinal di kalangan politisi dan
pemerintah. Seolah-olah aktivitas industri migas dilakukan di wilayah hampa
kepemilikan dan kebal polusi. Padahal berbagai kasus menunjukan isu ini menjadi
pemicu lahirnya perlawanan rakyat, seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus
Mobil Oil yang sudah lama disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi
referensi bagi pengambil kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku
kebijakan. Negara secara semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas
ketidakadilan menjadi persoalan perimbangan keuangan semata. Kontrak karya
pertambangan yang berada dikawasan hutan lindung telah mencapai 17,669 juta ha
atau 37,5 % dari total luas lahan kontrak karya seluas 47,059 juta ha. Kontribusi
kerusakan hutan sejak tahun 1996 meningkat 2 juta ha per tahun.
DI SEKTOR
KEHUTANAN :
Kawasan
hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya
diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek
PT Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto,
Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT
Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap
kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan
tambang, seperti ; Taman Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar
Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan
Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam
Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung
Meratus – Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome;
Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo
Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.
Terjadi
perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara
besar-besaran, dipacu dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor menanamkan modalnya
di Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan
para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat hutan untuk
membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan,
PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan peraturan lainnya yang
secara nyata tidak berpihak kepada
Struktur
penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh
pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan
hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya
dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang hidupnya
mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara
berdiri, nasibnya justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan
sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial yang riil terjadi dalam
kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru terjadi
pada sub sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan
rakyat.
Perusahaan
pemegang HPH yang membawa izin dari pusat, tanpa menghiraukan kepentingan
rakyat menebang pohon-pohon besar “milik negara”. Sementara akses rakyat
setempat untuk sekedar memanfaatkan hasil hutan non-kayu (seperti rotan dan
damar) ditutup secara sepihak.. Ada 574 perusahaan HPH yang dikatakan mengelola
59 juta ha hutan, padahal faktanya mereka tidak mengelola tetapi sekedar
menebang bahkan membabat hutan tanpa menanam kembali. Beberapa konglomerat yang
pernah memegang HPH sampai jutaan hektar, diantaranya Prajogo Pangestu seluas 3.536.800
Ha, Andi Sutanto (3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200 ha), PO Suwandi
(2.189.000 ha), dll. (BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan bahwa awal Juli
1999, Dephutbun mengumumkan 18 HPH yang berindikasi KKN para kroni Soeharto. 9
HPH/HPHTI diduga kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut pencadangannya, 5 HPH tidak
diperpanjang izin konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999) Dephutbun juga
mengidentifikasikan bahwa seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan dikuasai oleh 33
perusahaan besar di 7 propinsi.
Eksploitasi
yang dilakukan para pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang 10 tahun
terakhir. Data memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta
meter kubik, kayu gergajian 35,84 juta meter kubik, dan kayu lapis 98,052 juta
meter kubik. Di sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir
mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai
devisa itu tidak dinikmati oleh rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah.
Studi Walhi (1994) menunjukkan 85% keuntungan sektor kehutanan langsung
dinikmati oleh para pengusaha, sementar sisanya oleh Pemerintah Pusat. Tampak
jelas bahwa hasil eksploitasi bukan untuk rakyat. Indikator ini dapat dilihat
dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan pada HPH terbilang sangat
kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun 1997. Sementara di pihak lain, ada
sekitar 20 juta jiwa rakyat yang mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan
mengalami kemiskinan yang berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan
lahan 1997-1998, mereka mengalami proses pemiskinan antara 40-73 persen
dibandingkan sebelum kebakaran.
Selama
beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi
dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat yang
berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan pemerintah negara-negara
Utara, program bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan asing. Atas nama
pembangunan hutan dirusak dan laut, sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus
mengalah kepada HPH, HTI, pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala
besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati oleh
segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal internasional.
Pengelolaan
sumberdaya alam adalah perkara yang sangat serius dan berkesinambungan tentang
manajemen dan kebijaksanaan. Degradasi penglolaan sumberdaya alam lebih banyak
disebabkan oleh kelalaian manusia dalam mengikuti dan menerapkan kaidah-kaidah
Syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-kaidah tsb dalam
kehidupan sehari-hari.
Berbagai
persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak diterapkannya aturan
yang benar yang mengatur tentang Pengelolaan sumberdaya alam, sangat kita
rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan berpangkal dari tidak tegaknya
aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan sumberdaya alam
sebagai syarat utama bekerjanya system aturan pengelolaan sumbedaya alam.
Air,
listrik, minyak bumi dan barang-barang tambang lainnya adalah harta kekayaan
yang diciptakan Allah SWT untuk dinikmati umat yang tidak boleh di rampas oleh
siapapun. Jika negara menguasainya, maka itu hanyalah untuk mencegah agar tidak
dikuasai individu ataupun pihak asing. Lebih penting dari itu, agar negara
dapat mengatur pemanfaatan untuk kepentingan seluruh rakyat karena merekalah
pemiliknya yang sesungguhnya atau yang disebut kepemilikan umum.
Ironisnya,
dibalik kekayaan Indonesia yg begitu melimpah, fakta yang dihadapi umat saat
ini justru lilitan utang luar negeri yang telah menenggelamkan bangsa Indonesia
dalam krisis multidimensional yang berkepanjangan. Rakyat semakin dalam
terpuruk dalam kemiskinan dan penderitaan . Posisi utang luar negeri Indonesia
pada bulan April 2001 tercatat 139 milyar US Dolar (USD), atau sebesar Rp 1.251
trilyun, yang terdiri dari 72 milyar USD (52%) utang pemerintah dan 67 milyar
USD (48%) utang swasta (laporan BI,2002). Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) kita terbebani oleh pembayaran bunga utang dan cicilan
pokok utang luar negeri. Pada Rancangan APBN tahun 2002, alokasi untuk
Pembayaran Utang Luar Negeri sebesar Rp. 129.505,60 milyar atau sebesar 38,95 %
dari anggaran belanja. Pada saat yang bersamaan, untuk menutup defisit anggaran
APBN 2002, pemerintah memproyeksikan mendapat pinjaman baru sebesar Rp. 43.032,50
milyar. Selain itu, privatisasi (penjualan BUMN) juga dilakukan untuk menutup
defisit anggaran tersebut.
Komentar
Posting Komentar