Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia
Materi 4
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Indonesia
4.1 Masalah Sumber Daya Alam struktur Penguasaan
Sumber Daya Alam
Realita
hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena
hal tersebut merupakan hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan
kehidupannya (Balancing Ecosystem). Sumber daya alam terbagi dua, yaitu SDA
yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan yang dapat diperbaharui
(renewable). Keanekaragaman hayati termasuk didalam sumber daya alam yang dapat
diperbaharui. Potensi sumber daya alam hayati tersebut bervariasi, tergantung
dari letak suatu kawasan dan kondisinya. Pengertian istilah sumber daya alam
hayati cukup luas, yakni mencakup sumber daya alam hayati, tumbuhan, hewan,
bentang alam (landscape). Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam
hayati yang berlimpah ruah sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY.
Keanekaragaman hayatinya terbanyak kedua diseluruh dunia.
Wilayah
hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas,
tembaga dan mineral lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya
ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indoensia memiliki tanah dan dan area
lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1.3
persen dari wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga
yang ada di dunia, 12 persen jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung,
25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutang tropis, yang kedua setelah
Brazil (world Bank 1994). Walaupun demikian persoalan tentang pengelolaan
sumber daya alam hanya mendapat perhatian sedikit dari para pengambil
kebijakan.
Kepulauan Indonesia yang terdiri atas 17,000 pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora dan fauna dari dua tipe yang berbeda asal usulnya. Bagian barat merupakan kawasan Indo-Malayan, sedang bagian timur termasuk kawasan Pacifik dan Australia. Meski daratannya hanya mencakup 1,3 persen dari seluruh daratan di bumi, Indonesia memiliki hidupan liar flora dan fauna yang spektakuler dan unik. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang mengagumkan: sepuluh persen dari spesies berbunga yang ada didunia, 12 persen dari spesies mamalia dunia, 16 persen dari seluruh spesies reptil dan amphibi, 17 persen dari seluruh spesies burung, dan 25 persen dari semua spesies ikan yang sudah dikenal manusia.
Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya didunia sehubungan dengan keanekaan hidupan liarnya. Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia-Pasific, yaitu diperkirakan 1,148,400 kilometer persegi. Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keaneka ragaman hayati di dunia. Hutan Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 diantaranya tidak terdapat dibagian dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarp (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga. Indonesia juga sangat kaya akan hidupan liar: terkaya didunia untuk mamalia (515 spesies, 36% diantaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121 spesies, 44% diantaranya endemik), ketiga terkaya didunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% diantaranya endemik) kelima untuk amphibi (270 species), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga.
Lingkungan
Pesisir dan Kelautan di Indonesia Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia
mencapai 81,000 kilometer, ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia.
Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang di dunia. Ekosistem
kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung
kehidupan kumpulan spesies yang sangat besar. Indonesia memiliki hutan bakau
yang paling luas, dan memiliki terumbu karang yang paling spektakuler di
kawasan Asia. Hutan bakau paling banyak dijumpai di Pesisir Timur Sumatra,
pesisir Kalimantan, dan Irian Jaya (yang memiliki 69% dari seluruh habitat
hutan bakau di Indonesia). Sedangkan lautan biru di Maluku dan Sulawesi
menaungi ekosistem yang sangat kaya akan ikan, terumbu karang, dan organisme
terumbu karang yang lain.
Ada apa dengan pengelolaan sumber daya alam Indonesia ?
DI SEKTOR MIGAS :
Masalah
kebijakan tambang migas di Indonesia : Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini
banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini.
Dilihat dari angka-angka, Migas memang berkontribusi paling tinggi dibanding
sektor lain pada pendapatan (yang katanya) negara. Oleh karena itu, semua mata
jadi tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam
penambangan migas. Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas
Migas di Indonesia bersama para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang
atas kekayaan alam Indonesia.
Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemodal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih rendah dibanding posisi pemodal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
Sejak
tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen
Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah
merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin.
Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah “berhasil”
memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK),
Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas
konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia
. Jumlah tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang
perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun baru
sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan
eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan.
Berbagai
kasus korupsi di dunia pertambangan belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme
justru sering digunakan untuk menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi
seperti kasus mis-manajemen yang diungkap pada Habibie. Selain masalah korupsi,
banyak masalah lain yang juga belum terungkap dalam penambangan Migas. Misal saja,
hak menguasai negara yang diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses
lahirnya Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA
dengan perusahaan multinasional, rencana investasi yang diatur oleh perusahaan
multinasional. Di sisi lain,
perkembangan RUU Migas UU Migas No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang disiapkan
penggantinya oleh pemerintah. Rancangan UU ini sempat menjadi kontroversial,
karena terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara pemerintah dan DPR-RI saat
itu. Perdebatan yang mengemuka saat itu berkisar pada peran Pertamina, dan
kepentingan ekonomi negara.
Production Sharing Contrac (Kontrak Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah berkeinginan mengganti PSC dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak Karya dalam pertambangan umum. Padahal semua tahu model Kontrak Kerjasama ala Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk hasil alamnya oleh perusahaan tambang. Perdebatan menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan sistem kontrak, yang sangat diharapkan oleh investor.
Liberalisasi distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik. Namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka yang paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan multinasional.
Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola adalah satu contoh terparah akan betapa buruknya intervensi perusahaan multinasional pada keutuhan negara.
Isu lingkungan hidup merupakan isu yang sangat marjinal di kalangan politisi dan pemerintah. Seolah-olah aktivitas industri migas dilakukan di wilayah hampa kepemilikan dan kebal polusi. Padahal berbagai kasus menunjukan isu ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat, seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil Oil yang sudah lama disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas ketidakadilan menjadi persoalan perimbangan keuangan semata. Kontrak karya pertambangan yang berada dikawasan hutan lindung telah mencapai 17,669 juta ha atau 37,5 % dari total luas lahan kontrak karya seluas 47,059 juta ha. Kontribusi kerusakan hutan sejak tahun 1996 meningkat 2 juta ha per tahun.
DI SEKTOR KEHUTANAN :
Kawasan
hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya
diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek
PT Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto,
Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT
Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap
kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan
tambang, seperti ; Taman Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar
Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan
Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam
Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung
Meratus – Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome;
Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo
Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.
Terjadi perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara besar-besaran, dipacu dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat hutan untuk membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak kepada
Struktur penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang hidupnya mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara berdiri, nasibnya justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial yang riil terjadi dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru terjadi pada sub sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan rakyat.
Perusahaan pemegang HPH yang membawa izin dari pusat, tanpa menghiraukan kepentingan rakyat menebang pohon-pohon besar “milik negara”. Sementara akses rakyat setempat untuk sekedar memanfaatkan hasil hutan non-kayu (seperti rotan dan damar) ditutup secara sepihak.. Ada 574 perusahaan HPH yang dikatakan mengelola 59 juta ha hutan, padahal faktanya mereka tidak mengelola tetapi sekedar menebang bahkan membabat hutan tanpa menanam kembali. Beberapa konglomerat yang pernah memegang HPH sampai jutaan hektar, diantaranya Prajogo Pangestu seluas 3.536.800 Ha, Andi Sutanto (3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200 ha), PO Suwandi (2.189.000 ha), dll. (BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan bahwa awal Juli 1999, Dephutbun mengumumkan 18 HPH yang berindikasi KKN para kroni Soeharto. 9 HPH/HPHTI diduga kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut pencadangannya, 5 HPH tidak diperpanjang izin konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999) Dephutbun juga mengidentifikasikan bahwa seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan dikuasai oleh 33 perusahaan besar di 7 propinsi.
Eksploitasi yang dilakukan para pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang 10 tahun terakhir. Data memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta meter kubik, kayu gergajian 35,84 juta meter kubik, dan kayu lapis 98,052 juta meter kubik. Di sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai devisa itu tidak dinikmati oleh rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah. Studi Walhi (1994) menunjukkan 85% keuntungan sektor kehutanan langsung dinikmati oleh para pengusaha, sementar sisanya oleh Pemerintah Pusat. Tampak jelas bahwa hasil eksploitasi bukan untuk rakyat. Indikator ini dapat dilihat dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan pada HPH terbilang sangat kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun 1997. Sementara di pihak lain, ada sekitar 20 juta jiwa rakyat yang mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan mengalami kemiskinan yang berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan lahan 1997-1998, mereka mengalami proses pemiskinan antara 40-73 persen dibandingkan sebelum kebakaran.
Selama beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat yang berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan pemerintah negara-negara Utara, program bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan asing. Atas nama pembangunan hutan dirusak dan laut, sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus mengalah kepada HPH, HTI, pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati oleh segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal internasional.
Pengelolaan sumberdaya alam adalah perkara yang sangat serius dan berkesinambungan tentang manajemen dan kebijaksanaan. Degradasi penglolaan sumberdaya alam lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia dalam mengikuti dan menerapkan kaidah-kaidah Syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-kaidah tsb dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak diterapkannya aturan yang benar yang mengatur tentang Pengelolaan sumberdaya alam, sangat kita rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan berpangkal dari tidak tegaknya aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan sumberdaya alam sebagai syarat utama bekerjanya system aturan pengelolaan sumbedaya alam.
Air, listrik, minyak bumi dan barang-barang tambang lainnya adalah harta kekayaan yang diciptakan Allah SWT untuk dinikmati umat yang tidak boleh di rampas oleh siapapun. Jika negara menguasainya, maka itu hanyalah untuk mencegah agar tidak dikuasai individu ataupun pihak asing. Lebih penting dari itu, agar negara dapat mengatur pemanfaatan untuk kepentingan seluruh rakyat karena merekalah pemiliknya yang sesungguhnya atau yang disebut kepemilikan umum.
Ironisnya, dibalik kekayaan Indonesia yg begitu melimpah, fakta yang dihadapi umat saat ini justru lilitan utang luar negeri yang telah menenggelamkan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensional yang berkepanjangan. Rakyat semakin dalam terpuruk dalam kemiskinan dan penderitaan . Posisi utang luar negeri Indonesia pada bulan April 2001 tercatat 139 milyar US Dolar (USD), atau sebesar Rp 1.251 trilyun, yang terdiri dari 72 milyar USD (52%) utang pemerintah dan 67 milyar USD (48%) utang swasta (laporan BI,2002). Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita terbebani oleh pembayaran bunga utang dan cicilan pokok utang luar negeri. Pada Rancangan APBN tahun 2002, alokasi untuk Pembayaran Utang Luar Negeri sebesar Rp. 129.505,60 milyar atau sebesar 38,95 % dari anggaran belanja. Pada saat yang bersamaan, untuk menutup defisit anggaran APBN 2002, pemerintah memproyeksikan mendapat pinjaman baru sebesar Rp. 43.032,50 milyar. Selain itu, privatisasi (penjualan BUMN) juga dilakukan untuk menutup defisit anggaran tersebut.
4.2
kebijakan Sumber Daya Alam Struktur penguasaan sumber Daya Alam
Arah Kebijakan Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dalam GHBN 1999 – 2004
1. Mengelola
sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
2. Meningkatkan
pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi,
rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah
lingkungan.
3. Menerapkan
indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam
pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan
yang tidak dapat balik.
4. Mendelegasikan
secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan
lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan
undang-undang.
5. Mendayagunakan
sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan
ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam :
1. Melakukan
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5
Ketetapan ini.
2. Mewujudkan
optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan
inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi dalam
pembangunan nasional.
3. Memperluas
pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam
di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan
teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
4. Memperhatikan
sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan
upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut.
5. Menyelesaikan
konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus
dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
6. Menyusun
strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat
dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.
Parameter Kebijakan
PSDA bagi Pembangunan Berkelanjutan
Reformasi pengelolaan sumber daya alam sebagai prasyarat bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dapat dinilai dengan baik apabila terumuskan parameter yang memadai. Secara implementatif, parameter yang dapat dirumuskan diantaranya:
1. Desentralisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan mengikuti
prinsip dan pendekatan ekosistem, bukan administratif.
2. Kontrol
sosial masyarakat dengan melalui pengembangan transparansi proses pengambilan
keputusan dan peran serta masyarakat . Kontrol sosial ini dapat dimaknai pula
sebagai partisipasi dan kedaulatan yang dimiliki (sebagai hak) rakyat. Setiap
orang secara sendiri-sendiri maupun berkelompok memiliki hak yang sama dalam
proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan serta
evaluasi pada pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
3. Pendekatan
utuh menyeluruh atau komprehensif dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup. Pada parameter ini, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
harus menghilangkan pendekatan sektoral, namun berbasis ekosistem dan
memperhatikan keterkaitan dan saling ketergantungan antara faktor-faktor
pembentuk ekosistem dan antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya.
4. Keseimbangan
antara eksploitasi dengan konservasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup sehingga tetap terjaga kelestarian dan kualitasnya secara
baik.
5. Rasa
keadilan bagi rakyat dalam pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Keadilan ini tidak semata bagi
generasi sekarang semata, tetapi juga keadilan untuk generasi mendatang sesudah
kita yang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik.
Visi Pengelolaan Sumber Daya Alam
“Terwujudnya Lingkungan
Hidup yang handal dan proaktif, serta berperan dalam pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau”.
Misi Pengelolaan Sumber
Daya Alam
1. Mewujudkan
kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi, guna
mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi
hijau;
2. Melakukan
koordinasi dan kemitraan dalam rantai nilai proses pembangunan untuk mewujudkan
integrasi, sinkronisasi antara ekonomi dan ekologi dalam pembangunan
berkelanjutan;
3. Mewujudkan
pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran sumber daya alam dan
lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup;
4. Melaksanakan
tatakelola pemerintahan yang baik serta mengembangkan kapasitas kelembagaan
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara terintegrasi.
Secara umum, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah mewujudkan perbaikan fungsi lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah pada pengarusutamaan prinsip pembangunan berkelanjutan. Sasaran khusus yang hendak dicapai adalah:
1. Terkendalinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan sungai, danau, pesisir dan laut, serta air
tanah;
2. Terlindunginya
kelestarian fungsi lahan, keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan;
3. Membaiknya
kualitas udara dan pengelolaan sampah serta limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3);
4. Pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi.
4.3
Dominasi SDA di Indonesia
miliki Dalam kesempatan kali ini saya ingin sedikit membahas dominasi asing dalam pengelolaan SDA di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, SDA Indonesia sangat melimpah ruah, hal ini membuat bangsa lain tertarik dengan Indonesia. Namun sayang, SDM kita jumlahnya masih sedikit ketimbang dengan SDAnya. Saya rasa dengan sedikitnya SDM pun kita masih bisa mengelola SDA kita dengan mandiri, namun banyak dari SDM kita yang memilih mengelola SDA negeri orang lain dengan alasan materi. Gak salah sih, zaman sekarang siapa sih yang tidak mau uang ?
Sejak zaman Alm Presiden Soekarno, banyak perusahaan asing yang ingin mengambil alih SDA Indonesia, namun Presiden Soekarno menolaknya, menurut dia perusahaan asing hanyalah monopoli keuangan, kapitalisme, dan neolib. Presiden Soekarno juga pernah menolak bantuan dari IMF yang menurut dia hanya akan memberati keuangan negara. Soekarno percayaan dengan kemampuan rakyatnya sendiri.
Banyak perusahaan asing yang menekan kontrak dengan pemerintahan Indonesia sejak era pemerintahan Alm Soehartom hingga sekarang (Presiden SBY) telah mengakar di negeri ini, contoh saja Freeport, Chevron, Shell, Suzuki, Honda, Yamaha, dll, yang perlu di perhatikan adalah agar kepemilikan saham asing di industri nasional tidak begitu dominan, sebab bila itu terjadi maka perekonomian nasinal bisa pincang.
Dominasi pihak asing kini semakin meluas dan menyebar pada sektor-sektor strategis perekonomian. Pemerintah disarankan menata ulang strategi pembangunan ekonomi agar hasilnya lebih merata dirasakan rakyat dan berdaya saing tinggi menghadapi persaingan global.
Per Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing. Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008 kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen. Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi. Tak hanya perbankan, asuransi juga didominasi asing. Dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Kalau dikelompokkan, dari asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas Rp 750 miliar hampir semuanya usaha patungan. Dari sisi perolehan premi, lima besarnya adalah perusahaan asing. Hal itu tak terlepas dari aturan pemerintah yang sangat liberal, memungkinkan pihak asing memiliki sampai 99 persen saham perbankan dan 80 persen saham perusahaan asuransi.
Pasar modal juga demikian. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Pada badan usaha milik negara (BUMN) pun demikian. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Lebih tragis lagi di sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025. Tinggal masalah teknis. Karena tak gampang asing dipaksa melepaskan kepemilikannya begitu saja. Jadi ya pakai tenggat waktu yang cukup misalnya 10 tahun harus dilepas ke pihak nasional dalam porsi tertentu. Dan mudah-mudahan di kurun waktu tersebut swasta nasional juga sudah punya sumber keuangan yang cukup untuk membeli saham asing tersebut.
Dengan
kepemilikan nasional yang lebih dari asing pada sektor-sektor strategis,
diyakini perputaran perekonomian nasional akan semakin kuat dan baik.
Kebangkitan ekonomi nasional yang diinginkan banyak orang akan benar-benar
terjadi, tapi
benarkah akan seperti itu? Semuanya kembali pada mentalitas bangsa dan
kepemimpinan nasional. Indonesia pernah melakukan nasionalisasi kepemilikan
asing di masa lalu. Dan kemudian kembali asing mendominasi. Jangan-jangan
permasalahannya bukan pada berapa besar kepemilikan nasional, tapi bagaimana
mengelola seberapapun yang kita.
Komentar
Posting Komentar