Materi 8/9 : Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah

8/9.2 Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pedapatan Asli Daerah

           Perubahan APBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD
Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi salah satu alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.

           Perubahan atas pendapatan, terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan terkini.

           Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
Target pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.

           Alasan penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.

           Jika dalam APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.
Perubahan atas alokasi anggaran belanja merupakan bagian terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok belanja langsung.

           Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal berdasarkan penyebabnya adalah:
Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan antara SILPA 201a definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA 201b.

            Perubahan karena adanya pergeseran anggaran (virement). Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang bersangkutan tidak berubah.
Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan, khususnya pendapatan. Perubahan target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat berpengaruh terhadap alokasi belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari perspektif agency theory, pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif (dan mungkin juga dengan sepengetahuan dan/atau persetujuan legislatif) target PAD ditetapkan di bawah potensi, lalu dilakukan “adjustment” pada saat dilakukan perubahan APBD. Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakandan mewujudkan otonomi daerah. Di samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini kondisinya masih kurang memadai. 

Sumber:

http://tugas-akuntansi.blogspot.com/2012/02/pembangunan-ekonomi-daerah.html

Komentar

Postingan Populer