Perdagangan Luar Negeri
Materi
13
Perdagangan
Luar Negeri
13.1 Teori Perdagangan
Internasional
Perdagangan internasional adalah perdagangan
yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas
dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan
(individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau
pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara,
perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan
GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun
(lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi,
sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan
internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi,
globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.
I. Teori Klasik
•
Absolute Advantage dari Adam Smith
Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan
pada besaran/variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama
teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa
teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai
suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk
menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi
nilai barang tersebut (Labor Theory of value )
Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu
terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan
absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini
meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara
yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan
terjadi karena tidak ada keuntungan.
•
Comparative Advantage : JS Mill
Teori ini menyatakan bahwa suatu Negara akan
menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative
advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative
diadvantage(suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor
barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar )
Kelebihan untuk teori comparative advantage
ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena
pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute
advantage.
II. Comparative Cost dari David Ricardo
1. Cost Comparative Advantage (
Labor efficiency )
Menurut teori cost comparative advantage
(labor efficiency), suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan
internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana
Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang
di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien. Berdasarkan
contoh hipotesis dibawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori comparative
advantage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage.
2. Production Comperative Advantage ( Labor produktifiti)
Suatu Negara akan memperoleh manfaat dari
perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta
mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang / tidak
produktif
Walaupun Indonesia memiliki keunggulan absolut
dibandingkan cina untuk kedua produk, sebetulnya perdagangan internasional akan
tetap dapat terjadi dan menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di
masing-masing negara yang memiliki labor productivity. kelemahan teori klasik
Comparative Advantage tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi
produksi antara 2 negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional
antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya 1 negara yang memiliki
keunggulan absolut asalkan masing-masing dari negara tersebut memiliki
perbedaan dalam cost Comparative Advantage atau production Comparative
Advantage.
Paham klasik dapat menerangkan comparative
advantage yang diperoleh dari perdagangan luar negeri timbul sebagai akibat
dari perbedaan harga relatif ataupun tenaga kerja dari barang-barang tersebut
yang diperdagangkan.
III. Teori Modern
Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan
beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor
barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara
intensif
Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan
dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif
yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari
keunggulan komparatif adalah:
1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi
didalam suatu negara.
2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam
proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity.
Permintaan dan penawaran pada faktor produksi
akan menentukan harga factor produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi
akan menentukan harga suatu produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara
kepada penentuan comparative advantage dan pola perdagangan (trade pattern)
suatu negara. Kualitas sumber daya manusia dan teknologi adalah dua faktor yang
senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing di pasar internasional. Teori
perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori modern yaitu teori Offer
Curve.
13.2
Perkembangan Ekspor Indonesia
Pengutamaan
Ekspor bagi Indonesia sudah digalakkan sejak tahun 1983. Sejak saat itu, ekspor
menjadi perhatian dalam memacu pertumbuhan ekonomi seiring dengan berubahnya
strategi industrialisasi-dari penekanan pada industri substitusi impor ke
industri promosi ekspor. Konsumen dalam negeri membeli barang impor atau
konsumen luar negeri membeli barang domestik, menjadi sesuatu yang sangat
lazim. Persaingan sangat tajam antar berbagai produk. Selain harga, kualitas
atau mutu barang menjadi faktor penentu daya saing suatu produk.
Secara
kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Oktober 2008 mencapai 118,43 juta US$
atau meningkat 26,92% dibanding periode yang sama tahun 2007, sementara ekspor
non migas mencapai 92,26 juta US$ atau meningkat 21,63%. Sementara itu menurut
sektor, ekspor hasil pertanian, industri, serta hasil tambang dan lainnya pada
periode tersebut meningkat masing-masing 34,65%, 21,04%, dan 21,57%
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Adapun selama periode
ini pula, ekspor dari 10 golongan barang memberikan kontribusi 58,8% terhadap
total ekspor non migas. Kesepuluh golongan tersebut adalah, lemak dan minyak
hewan nabati, bahan bakar mineral, mesin atau peralatan listrik, karet dan
barang dari karet, mesin-mesin atau pesawat mekanik. Kemudian ada pula bijih,
kerak, dan abu logam, kertas atau karton, pakaian jadi bukan rajutan, kayu dan
barang dari kayu, serta timah.
Selama
periode Januari-Oktober 2008, ekspor dari 10 golongan barang tersebut
memberikan kontribusi sebesar 58,80% terhadap total ekspor non migas. Dari sisi
pertumbuhan, ekspor 10 golongan barang tersebut meningkat 27,71% terhadap
periode yang sama tahun 2007.
Sementara
itu, peranan ekspor non migas di luar 10 golongan barang pada Januari-Oktober
2008 sebesar 41,20%. Jepang
pun masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$11,80 juta
(12,80%), diikuti Amerika Serikat dengan nilai 10,67 juta US$ (11,57%), dan
Singapura dengan nilai 8,67 juta US$ (9,40%).
Peranan
dan perkembangan ekspor non migas Indonesia menurut sektor untuk periode
Januari-Oktober tahun 2008 dibanding tahun 2007 dapat dilihat pada. Ekspor produk
pertanian, produk industri serta produk pertambangan dan lainnya masing-masing
meningkat 34,65%, 21,04%, dan 21,57%.
Dilihat
dari kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan Januari-Oktober 2008, kontribusi
ekspor produk industri adalah sebesar 64,13%, sedangkan kontribusi ekspor
produk pertanian adalah sebesar 3,31%, dan kontribusi ekspor produk
pertambangan adalah sebesar 10,46%, sementara kontribusi ekspor migas adalah
sebesar 22,10%.
Kendati
secara keseluruhan kondisi ekspor Indonesia membaik dan meningkat, tak
dipungkiri semenjak terjadinya krisis finansial global, kondisi ekspor
Indonesia semakin menurun. Sebut saja saat ekspor per September yang sempat
mengalami penurunan 2,15% atau menjadi 12,23 juta US$ bila dibandingkan dengan
Agustus 2008. Namun, secara year on year mengalami kenaikan sebesar 28,53%.
13.3
Tingkat Daya Saing
Indonesia
mengalami kemunduran luar biasa dalam melahirkan perusahaan dan industry kelas
dunia. Globalisasi yang telah menjadi kemestian adalah arena yang akan
menghukum mereka yang tidak siap dan tidak tanggap seperti bangsa kita terhadap
fenomina ini. Persoalan peningkatan daya saing ekonomi ini adalah persoalan
serius yang mesti diperhatikan dalam mendesain program pemulihan ekonomi kita
ke depan.
Daya
saing yang buruk menyebabkan sebuah perekonomian sangat rentan terhadap gejolak
eksternal dan karenanya mudah sekali didera krisis yang berkepanjangan.
Sebaliknya jika daya saing sebuah perekonomian baik, perekonomian akan mampu
segera pulih dari krisis bahkan bangkit kembali untuk menjadi perekonomian yang
tangguh dan terhormat. Bukti empiris memang menunjukkan bahwa Negara-negara
segera bangkit perekonomiannya adaah Negara-negara yang daya saing ekonominya
terus membaik, contohnya Malaysia dan Jepang.
Membangun
ekonomi bukanlah persoalan sederhana. Ia harus ditunjang industrial base yang
tangguh, sayangnya untuk Negara kita yang terjadi bukanlah sebuah proses
re-industrialisasi yang lebih terencana dan terfokus untuk menangguhkan fondasi
ekonomi dan kemudian berangsur-angsir pulih, tetapi sebuah proses yang kini
populer dengan sebutan de-industrialisasi. Hal ini menegaskan bahwa
perekonomian Indonesia memang memiliki potensi serius untuk terus berjibaku
dalam krisis berkepanjangan yang tak berujung.
Potret
Daya Saing Global
Daya Saing Global menurut Executive
Summary WEF adalah kemampuan nilai tukar mata uang suatu Negara (exchange
rate) mempengaruhi produktivitas nasional. Daya saing diartikan sebagai
akumulasi dari berbagai factor, kebijakan dan kelembagaan yang memepengaruhi
produktivitas suatu Negara sehinggan akan emenetukan tercapainya kesejahteraan
rakyat dalam system perekonomian nasional.
Produktivitas adalah
penentu utama tingkat ROI (return on Investment) dan agregasi pertumbuhan
ekonomi. Dengan demikian semakin kompetitif daya saing sebuah system
perekonomian maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam waktu menengah dan
panjang.
Daya
saing juga dapat dilihat dari kebijakan makro ekonomi. Pada era orde baru,
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi (7-9%), namun karena terjadi salah kelola
(mismanaging) dan salah arah kebijakan (misguiding) public finance dengan
diberlakukannya DFI (Direct Foreign Investment) sehingga pada saat krisis
akibatnya Negara yang menanggung Utang pihak swasta. Faktor-faktor lain sebagai
penentu daya saing global diantaranya: kesempatan berusaha, system peradilan
yang fair, pajak yang bermanfaat, birokrasi, inovasi teknologi dan pendidikan,
hubungan internasional dan hak cipta. Terjadinya pergantian pemerintahan,
kerusakan Infrastruktur
(akibat banyaknya bencana alam, tsunami, gempa bumi, dan banjir) dan hancurnya
pasar uang menyebabkan daya saing perekonomian Indonesia terpuruk.
sumber :
www.wikipedia.com
Komentar
Posting Komentar