Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
Materi
8/9
Pembangunan
Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
8/9.1 Undang Undang
Otonomi Daerah
UU otonomi daerah merupakan dasar hukum
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia atau dapat juga disebut payung hukum
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.UU otonomi daerah di Indonesia
menjadi payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU otonomi daerah
seperti, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan seterusnya.
Tentang
UU Otonomi Daerah
UU otonomi daerah itu sendiri
merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata
negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan
daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945
memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk
mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah,
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7),
bahwa:
“Susunan
dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan tersebut diatas menjadi payung
hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU
otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya
berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan
segera setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi
daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di
Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan
yang besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di
Indonesia.
Perubahan
UU Otonomi Daerah
Pada tahap selanjutnya UU otonomi daerah
ini mendapatkan kritik dan masukan untuk lebih disempurnakan lagi. Ada banyak
kritik dan masukan yang disampaikan sehingga dilakukan judicial review terhadap
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Dengan
terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi
sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang
selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sesungguhnya UU otonomi
daerah telah mengalami beberapa kali perubahan
setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun
perubahan tersebut meskipun penting namun tidak bersifat substansial dan tidak
terlalu memberikan pengaruh terhadap tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah karena hanya berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah.
Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomo 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
Selanjutnya
dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang
Pemerintahan
Daerah.
8/9.2 Perubahan
Penerimaan Daerah dan Peranan Pedapatan Asli Daerah
Perubahan APBD dapat diartikan sebagai
upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan
perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada
meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun,
bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD
Perubahan
atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda. Ada
perbedaan alasan untuk perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran
belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali
untuk penerimaan pembiayaan berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun
Lalu), yang memang menjadi salah satu alasan utama merngapa perubahan APBD
dilakukan.
Perubahan atas pendapatan, terutama PAD
bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat keputusan,
khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan APBD juga
memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran
pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena
beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan
baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang pajak dan
retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan
mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
Target pendapatan dalam
APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angkat
untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu menjadi
target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah
terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan
menambah penerimaan dalam kas daerah.
Alasan penentuan target PAD oleh SKPD
dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang
dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan
adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan rancangan
anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang untuk
membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang
potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
Jika dalam APBD “murni” target
PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk
kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk
belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan
sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam
mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan
tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.
Perubahan
atas alokasi anggaran belanja merupakan bagian terpenting dalam perubahan,
khususnya pada kelompok belanja langsung.
Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk
belanja modal berrdasarkan penyebabnya adalah:
Perubahan karena adanya varian SiLPA.
Perubahan harus dilakukan apabila prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang
bersumber dari adanya perbedaan antara SILPA 201a definitif setelah diaudit
oleh BPK dengan SiLPA 201b.
Perubahan
karena adanya pergeseran anggaran (virement). Pergeseran anggaran
dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang
bersangkutan tidak berubah.
Perubahan
karena adanya perubahan dalam penerimaan, khususnya pendapatan. Perubahan
target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat berpengaruh terhadap alokasi
belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari perspektif agency theory,
pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif (dan mungkin juga dengan
sepengetahuan dan/atau persetujuan legislatif) target PAD ditetapkan di bawah
potensi, lalu dilakukan “adjustment” pada saat dilakukan perubahan
APBD.
Isyarat
bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan
otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakandan mewujudkan otonomi daerah. Di
samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana
Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang
murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.Meskipun PAD tidak
seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD
terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian
keuangan suatu pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan
dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,
pada saat ini kondisinya masih kurang memadai.
8/9.3 Pembangunan Ekonomi Regional
Secara tradisional pembangunan memiliki
arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk
Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional
difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu provinsi,
kabupaten, atau kota.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu
proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada
dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor
swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin
Arsyad, 1999).
Tujuan utama dari usaha-usaha
pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya,
harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan
dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan
memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah
adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang
didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi
sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah).
Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang
berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk mencipatakan
kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu
proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi - institusi baru,
pembangunan indistri - industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja
yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi
pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan
baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah
mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk
masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah
daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif
pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah berserta pertisipasi
masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada harus
mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan
membangun perekonomian daerah.
Pembangunan ekonomi nasional sejak
PELITA I memang telah memberi hasil positif bila dilihat pada tingkat makro.
Tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita mengalami peningkatan
dari hanya sekitar US$50 pada pertengahan dekade 1960-an menjadi lebih dari
US$1.000 pada pertengahan dekade 1990-an. Namun dilihat pada tingkat meso dan
mikro, pembangunan selama masa pemerintahan orde baru telah menciptakan suatu
kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk personal income, distribution,
maupun dalam bentuk kesenjangan ekonomi atau pendapatan antar daerah atau
provinsi.
8/9.4 Faktor Penyebab
Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Daerah
A.
Konsentrasi Kegiatan ekonomi
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi
di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan
ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi
yang rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah.
Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam
pembanguna ekonomi nasional selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan
ekonomi hanya terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua
adalah yang sering disebut dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi
atau prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya
sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari
daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang sangat
lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa
mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya hanya banyak
dinikmati di Jawa.
B. Alokasi
Investasi
Indikator lain juga yang menunjukkan
pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari
luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori
pertumbuhan ekonomiHarrod-Domar, bahwa kurangnya I di suatu wilayah
membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di
wilayah tersebut menjadi rendah, karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang
produktif, seperti industri manufaktur.
Terpusatnya I di wilayah Jawa,
disebabkan oleh banyak faktor seperti kebijakan dan birokrasi yang terpusat
selama ini (terutama sebelum pelaksanaan otonomi daerah daerah), konsentrasi
penduduk di Jawa dan keterbatasan infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa.
Persebaran sumber daya alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya
alam yang terbatas dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan
jangka waktu yang relatif lama. Sumber daya alam merupakan segala sesuatu yang
tersedia di alam dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Sumber daya alam
secara umum dibagi menjadi 2, yaitu: sumber daya alam yang dapat diperbarui dan
sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
C. Mobilitas
antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah
Kehadiran buruh migran kelas bawah
adalah pertanda semakin majunya suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran
legal dan ilegal. Ketika sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan
masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist: naik
kelas).
Fenomena “move up the ladder” ini dengan
sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun
demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini
sangat substansial, karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan yang berada
di atasnya. Lapisan inilah yang diisi oleh para migran kelas bawah. Salah satu
pilar ekonomi liberal adalah kebebasan mobilitas faktor produksi, termasuk
faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi administratif negara tidak menjadi
penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap saja perpindahan ini perlu ditinjau
dan dikontrol agar tetap teratur.
D. Perbedaan
SDA antar Provinsi
Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa
pembanguan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya
lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya samapai
dengan tingkat tertebntu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA
dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan. Namun, belum tentu juga daerah
yang kaya akan SDA akan mempunyai tingkat pembanguan ekonomi yang lebih tinggi
juga jika tidak didukung oleh teknologi yang ada (T).Penguasaan T dan
peningkatan taraf SDM semakin penting, maka sebenarnya 2 faktor ini lebih penting
daripada SDA. Memang SDA akan mendukung pembangunan dan perkembangan, tetapi
akan percuma jika memiliki SDA tapoi minim dengan T dan SDM.
Program desentralisasi dan otonomi
daerah merupakan pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Keragaman kemampuan
dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan
bertahap menurut kemampuan daerah.
Dalam proses pemulihan ekonomi nasional,
pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai
sebaliknya malah akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan
merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Oleh karena itu, proses
desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah
pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan,
pada tingkat daerah, khususnya daerah Tingkat II. Hal ini merupakan kerja
nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di
daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi
pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien.
Pembangunan
ekonomi yang efisien membutuhkan secara seimbang perencanaan yang lebih teliti
mengenai penggunaan sumber daya publik dan sektor swasta: petani, pengusaha
kecil, koperasi, pengusaha besar, organisasi sosial harus mempunyai peran dalam
proses perencanaan.
E. Perbedaan
Kondisi Demografis antar Provinsi
Kondisi demografis antar provinsi
berbeda satu dengan lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada
yang didominiasi oleh sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi
demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.
Contoh kasusnya, kita tengok ke daerah Tegal. Penduduk Kota Tegal pada tahun
2007 adalah 247,076 jiwa yang terdiri dari laki-laki 123.792 jiwa (50,10 %) dan
perempuan 123,284 jiwa (49,90 %) dengan laju pertumbuhan 0,55 % per tahun,
sedangkan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun ) 170.124 jiwa (68,86
%).
Ternyata kepadatan penduduk rata – rata
di Kota Tegal pada tahun 2007 sebesar 6.193 jiwa/Km² dengan kepadatan penduduk
tertinggi di Kelurahan Kejambon sebesar 13.723 jiwa/Km² dan kepadatan terendah
di Kelurahan Muarareja sebesar 750 jiwa/Km².
Jumlah
penduduk usia kerja di Kota Tegal tahun 2007 tercatat berjumlah 204.517 dengan
jumlah angkatan kerja sebesar 168.575 jiwa atau 82,43 % yang terdiri dari
87.537 jiwa laki-laki dan 81.038 jiwa perempuan. Dari jumlah tersebut 112.660
sudah bekerja dan 55.915 tidak bekerja.
Mata pencaharian penduduk Kota Tegal
menurut jenis mata pencahariannya adalah petani sendiri 3.739 orang, buruh tani
6.457 orang, nelayan 12.013 orang, pengusaha 2.303 orang, buruh industri 20.310
orang, buruh bangunan 18.704 orang, pedagang 21.887 orang, pengangkutan 6.687
orang, PNS/ABRI 9.223 orang, pensiunan 4.473 orang dan lain-lain 11.930 orang.
Sektor pendidikan merupakan salah satu
prioritas utama kebijakan Pemerintah Kota Tegal, sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan sektor ini
diarahkan kepada penyediaan sarana dan prasarana serta memberikan kemudahan
akses pendidikan kepada masyarakat.
Kebijakan-kebijakan
strategis yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tegal secara bertahap sejak
tahun 2000 sampai dengan saat ini untuk mendukung pembangunan sektor pendidikan
formal antara lain yaitu pembangunan sarana dan prasarana fisik, pemberian bea
siswa, pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat sekolah dasar dan lanjutan
tingkat I, penyediaan buku pelajaran serta peningkatan kualitas tenaga pengajar
melalui pelatihan dan penyetaraan kualifikasi pendidikan guru. Pada tahun 2007
tamatan pendidikan untuk SD sebanyak 4.214 jiwa, SLTP 3.780 jiwa, dan SLTA
3.435 jiwa.
F. Kurang
Lancarnya Perdagangan antar Provinsi
Kurang lancarnya perdagangan antar
daerah juga menyebabkan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya
ketidaklancaran tersebut disebabkan karena keterbatasan transportasi dan
komunikasi. Perdagangan antarprovinsi meliputi barang jadi, barang modal, input
perantara, dan bahan baku untuk keperluan produksi dan jasa. Ketidaklancaran
perdagangan ini mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan lewat sisi permintaan (Demand) dan
sisi penawaran (Supply). Dari sisi permintaan, kelangkaan akan barang dan
jasa akan berdampak juga pada permnitaan pasar terhadap kegiatan eonomi lokal
yang sifatnya komplementer dengan barang tersebut. Sedangkan dari sisi
penawaran, sulitnya memperoleh barang modal seperti mesin, dapat menyebabkan
kegiatan ekonomi di suatu provinsi menjadi lumpuh, selanjutnya dapat
menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.
8/9.5 Kasus Pembangunan Indonesia Bagian Timur
Hasil pembangunan ekonomi nasional
selama pemerintahan orde baru menunjukkan bahwa walaupun secara nasional laju
pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata per tahun tinggi namun pada tingkat
regional proses pembangunan selama itu telah menimbulkan suatu ketidak
seimbangan pembangunan yang menyolok antara indonesia bagian barat dan
indonesia bagian timur. Dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan sosial,
indonesia bagian timur jauh tertinggal dibandingkan indonesia bagian barat.
Tahun 2001 merupakan tahun pertama
pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan secara serentak diseluruh wilayah
indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah diharapakan dapat menjadi suatu langkah
awal yang dapat mendorong proses pembangunan ekonomi di indonesia bagian timur
yang jauh lebih baik dibanding pada masa orde baru. Hanya saja keberhasilan
pembangunan ekonomi indonesia bagian timur sangat ditentukan oleh kondisi
internal yang ada, yakni berupa sejumlah keunggunlan atau kekeuatan dan
kelemahan yang dimiliki wilayah tersebut.
Keunggulan wilayah Indonesia Bagian Timur
Keunggulan atau kekeuatan yang dimiliki Indonesia bagian timur adalah sebagai berikut:
1. Kekayaan sumber daya alam
2. Posisi geografis yang strategis
3. Potensi lahan pertanian yang cukup luas
4. Potensi sumber daya manusia
Keunggulan wilayah Indonesia Bagian Timur
Keunggulan atau kekeuatan yang dimiliki Indonesia bagian timur adalah sebagai berikut:
1. Kekayaan sumber daya alam
2. Posisi geografis yang strategis
3. Potensi lahan pertanian yang cukup luas
4. Potensi sumber daya manusia
Sebenarnya dengan keunggulan-keunggulan
yang dimiliki indonesia bagian timur tersebut, kawasan ini sudah lama harus
menjadi suatu wilayah di Indonesia dimana masyarakatnya makmur dan memiliki
sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor industri manufaktur yang
sangat kuat. Namun selama ini kekayaan tersebut disatu pihak tidak digunakan
secara optimal dan dipihak lain kekayaan tersebut dieksploitasi oleh pihak luar
yang tidak memberi keuntungan ekonomi yang berarti bagi indonesia bagian timur
itu sendiri.
Kelemahan Wilayah Indonesia Bagian Timur
Kelemahan Wilayah Indonesia Bagian Timur
Indonesia
bagian tinur juga memiliki bagian kelemahan yang membutuhkan sejumlah
tindakan pembenahan dan perbaikan. Kalau tidak,
kelemahan-kelemahan tersebut akan menciptakan ancaman bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi di kawasan tersebut. Kelemahan yang dimiliki Indonesia
bagian timur diantaranya adalah:
1. Kualitas sumber daya manuasia yang masih rendah
2. Keterbatasan sarana infrastruktur
3. Kapasitas kelembagaan pemerintah dan publik masih lemah
4. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan masih rendah
Tantangan dan Peluang
1. Kualitas sumber daya manuasia yang masih rendah
2. Keterbatasan sarana infrastruktur
3. Kapasitas kelembagaan pemerintah dan publik masih lemah
4. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan masih rendah
Tantangan dan Peluang
Pembanguanan ekonomi di Indonesia bagian
timur juga menghadapai berbagai macam tantangan, yang apabila dapat
diantisipasi dengan persiapan yang baik bisa berubah menjadi peluang besar.
Salah satu peluang besar yang akan muncul di masa mendatang adalah akibat
liberalisasi perdagangan dan investasi dunia (paling cepat adalah era AFTA
tahun 2003). Liberalisasi ini akan membuka peluang bagi IBT, seperti juga IBB,
untuk mengembangkan aktivitas ekonomi dan perdagangna yang ada di daerahnya
masing- masing.
Langkah –langkah yang Harus Dilakukan
Langkah –langkah yang Harus Dilakukan
Pada era otonomi dan dalam menghadapi
era perdagangan bebas nanti, IBT harus menerapkan
suatu strategi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan yang mendorong
pemanfaatan sebaik-baiknya semua keunggulan–keunggulan yang dimiliki kawasan
tersebut tanpa eksploitasi yang berlebihan yang dapat merusak lingkungan. Dalam
new development paradigm ini, ada sejumlah langkah yang harus dilakukan,
diantaranya sebagai berikut.
1. Kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan secara merata di seluruh daerah di IBT.
Peningkatan
kualitas sumber daya manusia harus merupakan prioritas utama dalam kebijakan
pembangunanekonomi dan sosial di IBT. Untuk maksud ini, kebijakan pendidikan,
baik pada tingkat nasional maupun daerah, harus diarahkan pada penciptaan
sumber daya manusia berkualitas tinggi sesuai kebutuhan setiap kawasan di
Indonesia. IBT harus memiliki ahli-ahli khususnya dibidang kelautan,
perhutanan, peternakan, pertambangan, industri, pertanian,dan perdagangan
global.
2. Pembangunan sarana infrastuktur juga harus merupakan prioritas utama, termasuk
pembangunan sentra-sentra industri dan
pelabuhan-pelabuhan laut dan udara di wilayah-wilayah IBT yang berdasarkan
nilai ekonomi memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi entreport.
3. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang memiliki keunggulan komparatif berdasarkan kekayaan sumber daya alam yang ada harus dikembangkan seoptimal mungkin, di antaranya adalah sektor pertanian dan sektor industri manufaktur. Setiap daerah/provinsi IBT harus berspesialisasi dalam suatu kegiatan ekonomi yang sepenuhnya didasarkan pada keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing daerah atau provinsi.
4. Pembangunan ekonomi di IBT harus dimonitori oleh industrialisasi yang dilandasi oleh keterkaitan produksi yang kuat antara industri manufaktur dan sektor-sektor primer, yakni pertanian dan pertambangan.
8/9.6 Teori dan Model Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Ada
beberapa teori yang menerangkan tentang pembangunan daerah yaitu:
1. Teori Basis Ekonomi
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa
faktor penetu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung
dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Proses produksi di sektor
industri di suatu daerah yang menggunakan sumber daya produksi(SDP) lokal,
termasuk tenaga kerja dan bahan baku, dan output-nya diekspor menghasilkan
pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan perkapita, dan menciptakan peluang
kerja di daerah tersebut.
2. Teori Lokasi
Teori lokasi juga sering digunakan untuk
penentuan atau pengembangan kawasan industri di suatu daerah. Inti pemikiran
teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha/perusahaan yang cenderung
mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena
itu, pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimumkan keuntungannya dan
meminimalisasikan biaya usaha/produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan
tempat bahan baku dan pasar.
3. Teori Daya Tarik Industri
3. Teori Daya Tarik Industri
Menurut Kotler dkk. (1997), ada beberapa
faktor penentu pembangunan industri di suatu daerah, yang terdiri atas
faktor-faktor daya tarik industri dan faktor-faktor daya saing
daerah.
a. Faktor-faktor daya tarik industri antara lain:
1. Nilai Tambah yang Tinggi per Pekerja (Produktivitas)
Ini berarti industri tersebut memiliki sumbangan yang penting tidak hanya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi juga pembentukan PDRB.
2. Industri-industri Kaitan
Ini berarti perkembangan industri-industri tersebut akan meningkatkan total nilai tambah daerah atau mengurangi “kebocoran ekonomi” dan ketergantungan impor.
3. Daya Saing di Masa Depan
Hal ini sangat menentukan prospek dari pengembangan industri yang bersangkutan.
4. Spesialisasi Industri
Sesuai dasar pemikiran teori-teori klasik mengenai perdagangan internasional, suatu daerah sebaiknya berspesialisasi pada industri-industri di mana daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif sehingga daerah tersebut akan menikmati gain from trade.
5. Potensi ekspor
6. Prospek bagi Permintaan Domestik
Dasar pemikirannya untuk memberikan suatu kontribusi yang berarti bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah melalui konsumsi lokal.
b. Faktor-faktor penyumbang pada daya tarik industri dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok (Kotler dkk., 1997), yakni sebagai berikut.
1. Faktor-faktor Pasar
Faktor-faktor ini antara lain ukuran
pasar, ukuran segmen kunci, laju pertumbuhan pasar, keragaman pasar, kepekaan
terhadap harga dan faktor eksternal, siklus dan musim dan kemampuan tawar
menawar.
2. Faktor-faktor Persaingan
Faktor-faktor ini antara lain tingkat
pemusatan, substitusi disebabkan oleh progres teknologi, tingkat dan jenis
integrasi, dan entry ratesdan exist rates.
3. Faktor-faktor Keungan dan Ekonomi
Faktor-faktor ini antara lain ilai
tambah, kesempatan kerja, keamanan, stabilitas ekonomi, pemanfaatan kapasitas
produksi, skala ekonomis, dan ketersediaan infrastruktur keuangan.
4. Faktor-faktor Teknologi
Faktor-faktor ini antara lain
kompleksitas, diferensiasi, paten dan hak cipta, dan teknologi proses
manufaktur yang diperlukan.
Berdasarkan pemikiran Doz dan Prohaald
(1987), keunggulan kompetitif yang ada atau yang potensial dari suatu daerah
yang menentukan kemampuan industri di daerah tersebut terghantung pada:
Daya
saing faktor-faktornya yakni, kekuatan relatif faktor-faktor produksinya yang
mencakup sumber daya fisik, sumber daya manusia dan teknologinya.
Daya
saing atau kekuatan relatif perusahaan-perusahaan di daerah tersebut.
Selain itu, menurut Doz dan Prohalad ketika daya saing faktor-faktor suatu daerah tinggi dan perusahaan-perusahaan lokalnya sangat kompetitif, maka industri di daerah tersebut akan berkembang pesat. Apabila daya saing perusahaan-perusahaan yang ada di daerah tinggi, namun daya saing faktor-faktornya rendah, maka akan timbul tekanan bagi investasi ke luar daera (outward investment), yakni investasi ke daerah-daerah lain yang memiliki daya saing faktor yang tinggi atau perusahaan-perusahaan di suatu daerah rendah, sedangkan faktor-faktor yang dimiliki daerah tersebut tinggi, maka akan timbul investasi ke dalam (inward investment) untuk industri-industri di mana perusahaan-perusahaan tersebut berbeda.
sumber:
http://tugas-akuntansi.blogspot.com/2012/02/pembangunan-ekonomi-daerah.html
Komentar
Posting Komentar