Sejarah Ekonomi Indonesia
Materi
2/3
Sejarah
Ekonomi Indonesia
2/3.1 Sejarah Pra
Kolonialisme
Masa Sebelum Penjajahan ( Sebelum Tahun
1600 ) Dinamika perekonomian Indonesia pada masa sebelum penjajahan dimulai
dari jaman pra-sejarah sampai dengan masuknya kolonialisme di Indonesia. Atas
dasar hal itu, maka dinamika perekonomian Indonesia sejalan dengan perkembangan
kehidupan bangsa Indonesia yang diwujudkan melalui keberadaan kerajaan yang ada
di nusantara. Posisi gografis dimana pusat kerajaan berada beragam dan
berakibat pada keragaman corak aktivitas perekonomiannya.
Kerajaan
Kutai terletak pada jalur perdagangan dan pelayaran antara Barat dan Timur,
maka aktivitas perdagangan menjadi mata pencaharian utama, sehingga rakyat
Kutai sudah mengenal perdagangan internasional. Kerajaan Tarumanegara berada di
daerah agraris sehingga kehidupan perekonomian masyarakat Tarumanegara adalah
pertanian dan peternakan. Kerajaan Sriwijaya berada di pesisir utara Pulau
Sumatera dan berada pada urat nadi perdagangan di Asia Tenggara, sehingga
masyarakat Sriwijaya menguasai perdagangan.
Kerajaan
Mataram berada bagian tengah Pulau Jawa, posisi ini membuat masyarakat Mataram
bertumpu pada sektor pertanian. Kehidupan ekonomi masyarakat pada jaman
Kerajaan Singasari berbasis pada pertanian, pelayaran, dan perdagangan.
Kerajaan Majapahit dekat dengan pertanian, maka kehidupan ekonomi masyarakat
Majapahit hidup dari pertanian dan perdagangan.
Singkatnya, dalam masa sebelum
penjajahan, perekonomian Indonesia bertumpu pada sector pertanian dan perdagangan.
Masa Penjajahan Portugis ( 1509 – 1659 ) perjalanan historis Portugis dalam
menjajah Indonesia dimulai dengan ekspedisi eksplorasi yang dikirim dari Malaka
yang baru ditaklukan dalam tahun 1512. Bangsa Portugis merupakan bangsa Eropa
pertama yang tiba dikepulauan yang sekarang menjadi Indonesia, dan mencoba
untuk menguasai sumber rempah-rempah yang berharga dan untuk memperluas usaha
misionaris Katolik Roma.
Bangsa Portugis adalah bangsa yang
mempunyai keahlian dalam navigasi, pembuatan kapal, dan persenjataan. Selain
itu, bangsa Portugis adalah salah satu bangsa yang menjadikan perdagangan
(khususnya rempah-rempah) menjadi komoditi ekonomi . pada masa penjajahan
Portugis, kondisi perekonomian Indonesia lebih banyak diwarnai adanya perlawan
dari rakyat terhadap Portugis, karena komoditi rempah-repah yang menjadi
andalan rakyat Indonesia dijarah begitu saja. Sumber daya yang menjadi tumpuan
kehidupan masyarakat, menjadi bagian dari ekspolitasi Portugis.
2/3.2 Sistem Monopoli
VOC
Dengan berbagai cara VOC berusaha
menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia serta pelabuhan-pelabuhan penting.
Kecuali itu, juga berusaha memaksakan monopoli perdagangan rempah-rempah.
Pertama-tama berusaha menguasai salah satu pelabuhan penting, yang akan
dijadikan pusat VOC. Untuk keperluan tersebut ia mengincar kota Jayakarta.
Ketika itu Jayakarta di bawah kekuasaan Kerajaan Islam
Banten. Sultan Banten mengangkat Pangeran Wijayakrama
sebagai adipati di Jayakarta.
Mula-mula VOC mendapat izin dari
Pangeran Wijayakrama untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Tetapi ketika
gubernur jenderal dijabat oleh J.P. Coen, Pangeran Wijayakrama diserangnya.
Kota Jayakarta direbut dan dibakar. Kemudian di atas reruntuhan kota Jayakarta,
J.P. Coen membangun sebuah kota baru. Kota baru itu diberinya nama Batavia.
Peristiwa tersebut pada tahun 1619. Kota Batavia itulah yang kemudian menjadi
pusat VOC.
Setelah memiliki sebuah kota sebagai
pusatnya, maka kedudukan VOC makin kuat. Usaha untuk menguasai
kerajaan-kerajaan dan pelabuhan-pelabuhan penting ditingkatkan. Cara
melakukannya dengan politik dividi et impera atau politik mengadu
domba. Mengadu dombakan sesama bangsa Indonesia atau antara satu kerajaan
dengan kerajaan lain. Tujuannya agar kerajaan-kerajaan di Indonesia menjadi
lemah, sehingga mudah dikuasainya. VOC juga sering ikut campur tangan dalam
urusan pemerintahan kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah, ia memaksakan monopoli, terutama di Maluku. Dalam usahanya
melaksanakan monopoli, VOC menetapkan beberapa peraturan, yaitu sebagai berikut
:
1.
Rakyat Maluku dilarang menjual rempah-rempah selain kepada VOC.
2.
Jumlah tanaman rempah-rempah ditentukan oleh VOC.
3.
Tempat menanam rempah-rempah juga ditentukan oleh VOC.
Agar pelaksanaan monopoli tersebut
benar-benar ditaati oleh rakyat, VOC mengadakan Pelayaran Hongi. Pelayaran
Hongi ialah patroli dengan perahu kora-kora, yang dilengkapi dengan senjata,
untuk mengawasi pelaksanaan monopoli di Maluku. Bila terjadi pelanggaran
terhadap peraturan tersebut di atas, maka pelanggarnya dijatuhi hukuman.
Hukuman
terhadap para pelanggar peraturan monopoli disebut ekstirpasi. Hukuman itu
berupa pembinasaan tanaman rempah-rempah milik petani yang melanggar monopoli,
dan pemiliknya disiksa atau bisa-bisa dibunuh.
Bukan main kejamnya tindakan VOC waktu
itu. Akibatnya penderitaan rakyat memuncak. Puluhan ribu batang tanaman pala
dan cengkih dibinasakan. Ribuan rakyat disiksa, dibunuh atau dijadikan budak.
Ribuan pula rakyat yang melarikan diri meninggalkan kampung halamannya, karena
ngeri melihat kekejaman Belanda.
Tidak sedikit yang meninggal di hutan
atau gunung karena kelaparan. Tanah milik rakyat yang ditinggalkan, oleh VOC
dibagi-bagikan kepada pegawainya. Karena kekejaman tersebut maka timbulah
perlawanan di berbagai daerah. Belanda
masuk ke Indonesia pada tahun (1602-1942). Hal itu dilakukan dengan
memanfaatkan perpecahan diantara kerajaan-kerajaan kecil yang telah enggantikan
Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang
tetap dikuasai Potugal hingga 1975 ketika bertintegrasi menjadi propinsi
Indonesia bernama Timor Timur. Penjajahan
Belanda belangsung kurang lebih selama 350 tahun, 3,5 abad.
Dibentukya Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) adalah satu kebijakan dalam bidang ekonomi yang dilakukan
Belanda. VOC menguasai perdagangan, sehingga kewenangan dimilikny, seperti
mencetak uang, menyatakan perang dan damai, membuat angkatan bersenjata
sendiri, dan membuat perjanjian dengan raja-raja. Pada tahun 1795 VOC
dibubarkan karena dianggap gagal dalam mengekspolarasi kekayaan Hindia Belanda
(Indonesia). Kegagalan itu Nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain
disebabkan oleh :
1. Peperangan
terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar.
2. Penggunaan tentara
sewaan membutuhkan biaya besar.
3. Korupsi yang
dilakukan pegawai VOC sendir
4. Pembagian deviden
kepada para pemegang saham, walaupun kas deficit.
Bubarnya
VOC muncul kebijakan baru yang disebut dengan cultuur stelstel (sistem tanam
paksa).
2/3.3 Sistem Tanam Paksa
Kebijakan ini diberlakukan mulai pada
tahun 1836 yang diinisiasi oleh Van Den Bosch. Sejak awal abad ke-19,
pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai
peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di
Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus
menanggung hutang yang sangat besar.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari
bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur
jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk
mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk
melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan
kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.
Oleh
karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk
melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia
secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program
sebagai berikut.
1)
Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak
dan pelaksanaannya sulit.
2)
Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman
yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3)
Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya
kepada pemerintah Belanda.
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak
menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi
agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan
akibat sebagai berikut.
1.
Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a)
Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang
berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b)
Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil
panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila
gagal panen.
c)
Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang
berkepanjangan.
d)
Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e)
Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka
kematian meningkat drastis.
Bahaya
kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon
(1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah
penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar
(hongorudim) di mana-mana.
2.
Bagi Belanda
Apabila
sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia,
sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a)
Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b)
Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c)
Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d)
Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e)
Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f)
Perdagangan berkembang pesat.
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan
kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi
dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1.
Golongan Pengusaha
Golongan
ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak
sesuai dengan ekonomi liberal.
2.
Baron Van Hoevel
Ia
adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam
perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia
akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam
paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen,
ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3.
Eduard Douwes Dekker
Ia
adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak
(Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat
tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak
menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan
Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa
dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut,
pemerintah Belanda secara berangsur-angsur menghapuskan sistem tanam paksa.
Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian
menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun
1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
Sistem tanam paksa bertujuan memproduksi
berbagai komoditi yang diminta dipasar dunia. Sistem ini sangat merugikan
bahkan menyiksa, tetapi bagi Belanda sangat menguntungkan. Kemudian diganti
dengan VOC (sistem tanam paksa) dahulu sIstem landrent , sistem ini juga ada
sisi positifnya, yaitu masyarakat pribumi mulai mengenal tata cara menanam
tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan
masuknya ekonomi uang dipedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup. Pada
jaman penjajahan Belanda, bangsa Indonesia ibarat hanya dapat menerima sisa
dari kekayaannya sendiri. Segala sumber daya dikeruk bagi keuntungan Belanda.
2/3.4 Sistem Ekonomi
Kapitalis Liberal
Setelah
melakukan sistem tanam paksa, kemudian menerapkan Sistem Ekonomi Pintu Terbuka
(Liberal). Kebijakan ini dilakukan karena desakkan kaum Humanis Belanda yang
menginginkan perubahan nasib warga bumi kearah yang lebih baik dengan memdorong
pemerintah Belanda mengubah kebijakan ekonominya. Munculnya semangat liberal kapitalis membawa dampak
negatif yang mencapai puncaknya pada abad ke-19, antara lain eksploitasi buruh, dan penguasaan kekuatan
ekonomi oleh individu. Kondisi ini yang mendorong dilakukannya koreksi lanjutan
terhadap sistem politik dan ekonomi, misalnya pembagian kekuasaan,
diberlakukannya undang-undang anti monopoli, dan hak buruh untuk mendapatkan
tunjangan dan mendirikan serikat buruh.
Sistem
ekonomi liberal kapitalis klasik berlangsung sekitar abad ke-17 sampai
menjelang abad ke-20, dimana individu/swasta mempunyai kebebasan penguasaan
sumber daya maupun pengusaan ekonomi dengan tanpa adanya campur tangan
pemerintah untuk mencapai kepentingan individu tersebut, sehingga mengakibatkan
munculnya berbagai ekses negatif diantaranya eksploitasi buruh dan penguasaan
kekuatan ekonomi.
2/3.5 Era Pendudukan
Jepang
Masa Penjajahan Jepang ( 1942 – 1945 ) konstelasi
peta politik pada masa perang dunia II nampaknya berimbas pada konstelasi
politik di Indonesia, durasi penjajahan Jepang di Indonesia tidak berlangsung
lama, karena hanya berjalan hingga sekitar tahun 1945. Secara besar penjahan
Jepang di Indonesia diawali pasa bulan juni 1942. Bulan Maret 1945 Jepang membentuk
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pertemuan
pertamanya pada bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan
individualisme perorangan. Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan radjiman
Widioningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi.
Kebijakan
ekonomi pada jaman penjajahan Jepang, terdiri atas :
1. Perluasan Areal
Persawahan
2. Pengawasan
Pertanian Dan Perkebunan.
Perluasan areal persawahan guna
meningkatkan produksi beras. Meskipun demikian produksi pangan antara tahun
1941-1944 terus-menurun. Pada jaman Jepang hasil pertanian diatur sebagai
berikut: 40% untuk petani, 30% harus dijual kepada pemerintah Jepang dengan
harga yang sangat murah, dan 305 harus diserahkan ke lumbung desa. Badan yang
menanganimasalah pelanggaran disebut Kempetei (Korps Polisi Militer), suatu
badan yang sangat ditakuti rakyat. Jepang mengizinkan dua jenis tanaman
perkebunan yaitu karet dan kina kedua jenis tanaman itu berhubungan langsung
dengan kepentingan perang. Sedangkau tembakau, teh, kopi harus dihetikan
penanamannya Karena hanya berhubungan dengan kenikmatan. Jepang menduduki
Indonesia hanya tiga tahun setengah, sedangkan Belanda menjajah Indonesia
selama tiga abad.
2/3.6 Cita-Cita Ekonomi
Merdeka
Sejak berdirinya negara RI, sudah banyak
tokoh-tokoh negara pada saat itu yang telah merumuskan bentuk perekonomian yang
tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok.
Seperti Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya mencetuskan ide, bahwa dasar
perekonomian Indonesia yang sesuai cita-cita tolong menolong adalah koperasi
namun bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus dilakukan secara koperasi,
pemaksaan terhadap bentuk ini justru telah melanggar dasar ekonomi koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi
Indonesia saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika tahun
1949, menegaskan bahwa yang dicita-citakan adalah ekonomi semacam campuran.
Menurut UUD 1945, sistem perekonomian Indonesia tercantum dalam pasal-pasal 23,
27, 33 & 34. Demokrasi Ekonomi dipilih karena memiliki ciri-ciri positif
yang di antaranya adalah (Suroso, 1993) Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang di kuasai oleh negara. Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengawasan terhadap
kebijaksanaannya serta sumber-sumber kekuatan dan keuangan negara digunakan
dengan permufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Warga negara memiliki kebebasan dalam
memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan
kehidupan yang layak. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Dalam
perekonomian Indonesia tidak mengijinkan adanya :
1.Free
fight liberalism, yaitu adanya suatu kebebasan usaha yang tidak terkendali
2.Etatisme, yaitu keikutsetaan pemerintah yang terlalu dominan
2.Etatisme, yaitu keikutsetaan pemerintah yang terlalu dominan
3.Monopoli,suatu
bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu,
Meskipun
pada awal perkembangannya perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi
Pancasila, Demokrasi Ekonomi dan “mungkin campuran”, namun bukan berarti sistem
perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia. Awal
tahun 1950an- 1957an merupakan bukti sejarah adanya corak liberalis dalam
perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan sistem etatisme, yang mewarnai sistem
perekonomian Indonesia pada tahun 1960an sampai dengan masa orde baru
Walaupun
demikian, semua program dan rencana tersebut tidak memberikan hasil yang
berarti bagi perekonomian Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan
adalah:
–
Program-program tersebut disusun oleh tokoh-tokoh yang relatif bukan di
bidangnya, namun oleh tokoh politik, dengan demikian keputusan-keputusan yang
dibuat cenderung mentitikberatkan pada masalah politik, bukan masalah ekonomi.
–
Kelanjutan dari akibat di atas, dana negara yang seharusnya di alokasikan untuk
kepentingan kegiatan ekonomi, justru di alokasikan untuk kegiatan politik &
perang
–
Faktor berikutnya adalah terlalu pendeknya masa kerja setiap kabinet yang
dibentuk (setiap parlementer saat itu). Tercatat tidak kurang dari 13x kabinet
yang berganti pada ssat itu. Akibatnya program-program dan rencana ekonomi yang
telah disusun masing-masing kabinet tidak dapat dijalankan dengan tuntas.
–
Disamping itu program dan rencana yang disusun kurang memperhatikan
potensi dan aspirasi dari
berbagai
pihak. Selain itu, putusan individu dan partai lebih di dominankan daripada
kepentingan
pemerintah
dan negara.
–
Cenderung terpengaruh untuk menggunakan sistem perekonomian yang tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia liberalis (1950- 1957) dan etatisme (1958-
1965)
2/3.7 Ekonomi Indonesia
setiap Pemrintahan, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi
2/3.7.1 Masa Orde Lama ( 1945 –
1967 )
Perekonomian Indonesia pada masa orde lama
perlu dicermati karena pada masa tersebut, Indonesia merupakan Negara yang baru
saja merdeka. Dalam masa ini, perkembangan perekonomian dibagi dalam 3 (tiga)
masa, yaitu :
1. Masa
Kemerdekaan ( 1945 – 1950 )
Keadaan ekonomi pada masa awal kemerdekaan
dapat dibilang sangat tidak menggembirakan. Hal itu terjadi karena adanya
inflasi yang disebabkan oleh beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Oktober 1946 Pemerintah RI mengeluarkan ORI (Oeang Republik
Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang, namun adanya blockade ekonomi oleh
Belanda dengan menutup pintu perdagangan luar negeri mengakibatkan kekosongan
kas Negara. Akibatnya Negara berada dalam kondisi krisis keuangan dan kondisi
itu tentu membahayakan bagi keberlangsungan perekonomian Indonesia pada saat
itu.
Dalam
menghadapi krisis tersebut, pemerintah menempuh beberapa kebijakan, yaitu :
1. Pinjaman
Nasional
Pinjaman
nasional dilakukan oleh menteri keuagan kala itu dengan persetujuan Badan
Pekerja Komiter Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengadakan pinjaman nasional
yang akan dikembalikan dalam jangka waktu 40 tahun. Pinjaman ini dimaksudkan
agar tersedia dana segar bagi operasionalisasi penyelenggaraan Negara.
2. Pemenuhan
Kebutuhan Rakyat
3. Melakukan
Konferensi Ekonomi
Pembahasan
mengenai peningkatan hasil produksi pangan, distribusi bahan makanan, sandang,
serta status administrasi perkebunan asing dilakukan melalui konferensi
ekonomi.
4. Membuat
Rencana Pembangunan
Dibuat
Rencana Lima Tahunan (Kasimo Plan) untuk melengkapi pembahasan mengenai
peningkatan hasil produksi pangan, distribusi bahan makanan, sandang, serta
status perkebunan asing. Dalam dokumen ini meliputi anjutan memperbanyak kebun
bibit dan padi unggul, mencegah penyembelihan hewan-hewan yang membantu dalam
pertanian, menanami tanah terlantar di Sumatra, dan mengadakan transmigrasi.
5. Membangun
Partisipasi Swasta Dalam Pembangunan Ekonomi
Pemerintah
berusaha menggandeng swasta untuk mewujudkan rencana-rencana diatas.
6. Nasionalisasi
Bank Indonesia
Selain
kebijakan di atas, muncul pula kebijakan yang dikenal dengan sebutan Sistem
Ekonomi Gerakan Benteng dan Sistem Ekonomi Ali-Baba. Kondisi perekomiman pada
masa ini lebih banyak berkutat pada bagaimana menyelesaikan permasalahan
ekonomi dasar namun hal inipun juga tidak bisa berjalan dengan baik akibat
situasi politik yang tidak stabil.
7. Masa
Demokrasi Liberal ( 1950 – 1957 )
Ciri
utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini
disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak tetapi tidak ada partai yang
memiliki mayoritas mutlak dan hal ini kemudian membuat pada masa ini
perekonomian diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Dampak dari kebijakan ini
akhirnya hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia.
Pemerintah
terkesan memaksakan sistem pasar dalam perekonomian, anehnya pemerintah sudah
mengetahui dampaknya dan melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kondisi
perekonomian. Usaha-usaha tersebut adalah melalui pemotongan nilai uang,
melanjutkan program Benteng, dan memutuskan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pemotongan nilai uang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar
agar tingkat harga turun, dikenal dengan sebutan Gunting Syarifuddin.
Pemerintah juga melanjutkan Program Benteng (Kabinet Natsir) dengan maksud
untuk menumbuhkan wiraswasta pribumi agar bisa berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional dan pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB,
termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
8. Masa
Demokrasi Terpimpin ( 1959 – 1967 )
Demokrasi
Terpimpin tidak lepas dari sosok Presiden Soekarno, sehingga pemikiran Soekarno
menjadi dasar bagi pelaksanaan demokrasi terpimpin. Dalam pidato beliau yang
berjudul Kembali ke Rel Revolusi terbitlah pemikiran Soekarno tentang demokrasi
terpimpin. Demokrasi Terpimpin benar-benar terjadi setelah muncul Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Mulai saat itulah Indonesia menjalankan sistem demokrasi
terpimpin. Akibat dari system ini berdampak pada perubahan struktur ekonomi
Indonesia yang akhirnya cenderung berjalan melalui system etatisme, dimana
dalam system ini Negara dan aparatur ekonomi Negara bersifat dominan serta
mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi diluar sektor Negara. Tidak menunjukkan kondisi perekonomian
yang baik justru berdampak pada adanya devaluasi (penurunan nilai uang yang
tujuannya guna membendung inflasi yang tetap tinggi, mengurangi jumlah uang
yang beredar di masyarakat, serta agar dapat meningkatkan nilai rupiah sehingga
rakyat kecil tidak dirugikan), perlunya membentuk lembaga ekonomi, dan
kegagalan dalam bidang moneter. Pada saat ini dibentuk pula Deklarasi Ekonomi,
tujuannya untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara
terpimpin.
2/3.7.2 Masa
Orde Baru ( 1967 – 1998 )
Masa Orde Baru identik dengan masa
pemerintahan Presiden Soeharto. Dikenal beberapa tahapan pembangunan yang
menjadi agendanya. Orde Baru mengawali rezimnya dengan menekankan pada
prioritas stabilitas ekonomi, dan politik. Program pemerintah berorientasi pada
pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan Negara, dan pengamanan kebutuhan
pokok rakyat. Pemerintah menerapkan kebijakan ekonomi yang baru melalui
pendekatan demokrasi pancasila, dan secara perlahan campur tangan pemerintah
dalam perekonomian mulai masuk.
Pentingnya
aspek pemerataan disadari betul dalam masa ini sehingga muncul istilah 8
(delapan) jalur pemerataan sebagai basis kebijakan ekonominya, yaitu :
1) Kebutuhan Pokok
2) Pendidikan dan
kesehatan
3) Pembagian
pendapatan
4) Kesempatan kerja
5) Kesempatan
berusaha
6) Partisipasi wanita
dan generasi muda
7) Penyebaran
pembangunan
8) Peradilan
Agar implementasi kebijakan tersebut
dapat terlaksana dengan baik dan terencana, maka kebijakan tersebut
dilaksanakan dengan sebutan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun)
dan berlangsung dalam periodisasi lima tahunan sehingga dikenal dengan sebutan
Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pelita menunjukkan hasil yang signifikan dalam
proses pembangunan ekonomi, terbukti pada tahun 1984 Indonesia berhasil
swasembada beras, menurunkan angka kemiskinanm meningkatkan partisipasi
pendidikan, penurunan angka kematian bayi, dan peningkatan sector industri,
berhasil dalam mengendalikan jumpal penduduk melalui program Keluarga Berencana
(KB).
Sisi negatif dari Pelita adalah
kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup, kerusakan suber daya alam,
ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar daerah, ketimpangan antar golongan
pekerjaan, akumulasi utang luar negeri yang semakin menumpuk serta muncul pula
konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Meskipun
Orde Baru berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi fundamental ekonomi
justru rapuh. Titik kulminasi keterpurukan Orde Baru berujung pada mundurnya
Soeharto dari kursi presiden pada tanggal 21 Mei 1998.
Terlepas dari berbagai kontroversi
tentang perjalanan rezim Orde Baru, harus diakui bahwa Orde Baru paling tidak
telah meletakkan dasar-dasar perekonomian bagi rezim selanjutnya. Kondisi
politik yang relatif stabil menjadi modal bagi tumbuhnya perekonomian secara
baik.
2/3.7.3
Masa Reformasi (1998 - Sekarang)
Masa reformasi dianggap sebagai tonggak
baru perjalanan kehidupan bangsa Indonesia dari sisi sosial dan politik. Muncul
beberapa kebijakan yang kemudian menjadi landasan bagi perjalanan sejarah
Bangsa Indonesia kedepan. Kebijakan yang paling menonjol adalah adanya
pergeseran pengelolaan pemerintahan dari sentralitis menjadi desentralitis.
1. Masa Presiden BJ. Habibie ( 21 Mei 1998
- 20 Oktober 1999 )
Salah
satu tugas penting Presiden Habibie adalah mendapatkan kembali komunitas
Negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Untuk menyelesaikan krisis
moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah :
1) Melakukan
restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN dan unit
Pengelola Aset Negara
2) Melikuidasi
beberapa bank yang bermasalah
3) Menaikkan
nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp 10.000,00
4) Membentuk
lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
5) Mengimplementasikan
reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
6) Mengesahkan
UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak
Shat
7) Mengesahkan
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Meski
hanya singkat dalam masa pemerintahannya, namun Habibie menjadi peletak dasar
bagi pemerintahan selanjutnya.
2. Masa
Presiden Abdurrahman Wahid / Gus Dur ( 20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001 )
Gus
Dur memerintah dengan gaya yang agak kontroversial. Banyak
pernyataan-pernyataan yang membuat kebingungan public sehingga berakibat
seringnya muncul perdebatan di public yang tidak memberikan pendidikan bagi
masyarakat. Gus Dur juga gemar melakukan perjalanan ke luar negeri, yang
cenderung terkesan pemborosan. Keterbatasan fisiknya juga mempengaruhi
kinerjanya dalam menjalankan pemerintahan.
Perekonomian
kala itu butuh perhatian serius dalam penanganannya, salah satunya sector
moneter dan untuk mengatasi krisis moneter dan memperbaiki ekonomi Indonesia,
dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas untuk memecahkan perbaikan
ekonomi Indonesia yang belum pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Kondisi
perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
memliki karakteristik sebagai berikut :
1) Dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada
perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan
tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga
sudah mulai stabil.
2) Hubungan
pemerintah dengan IMF kurang baik
3) Sosial
dan Politik yang tidak stabil dan semakin parah yang membuat investor asing
menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia
4) Makin
rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang cenderung negative dikarenakan lebih banyaknya kegiatan
penjualan daripada kegiatan pebelian dalam perdagangan saham di dalam negeri
Gus
Dur telah menghiasi bagian sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Di tengah
keterbatasan fisiknya dan gaya kontroversinya, Gus Dur juga telah meletakkan
dasar kebijakan yang dapat menjadi pijakan bagi pemerintahan selanjutnya.
3. Masa
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri ( 23 Juli 2001 - 20 Oktober 2004 )
Mewarisi
kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan
Gus Dur ditunjukkan dengan adanya inflasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi
Indonesia kurang berkembangnya investor swasta, baik dalam negeri maupun
swasta. Selain itu, nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif dan indeks harga
saham gabungan yang cenderung menurun.
Salah
satu masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi. Untuk
mengatasi krisis moneter, Megawati berhasil menaikkan pendapatan per kapita dan
menurunkan kurs mata uang rupiah dibawah Rp 10.000,00 dan untuk mengatasi
korupsi dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada
masa kepemimpinan Presiden Megawati, perekonomian Indonesia mulai mengalami
kemajuan walaupun masih ada beberapa kebijakannya yang memicu banyak
kontroversi tetapi Megawati sebagai presiden wanita pertama di Indonesia
menjadi bagian dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Keberhasilannya dalam
memperbaiki sector moneter, dan membidani terbentuknya lembaga korupsi jelas
merupakan modal berharga bagi pemerintahan selanjutnya.
4.
Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 - Sekarang
)
Merupakan
presiden pertama yang dipilih oleh rakyat melalui Pemilu tahun 2004 dan tahun
2009. Pada masa jabatannya, Indonesia mengalami sejumlah bencana alam dan
menjadi tantangan tambahan bagi Presiden yang masih bergelut dengan upaya
memulihkan kehidupan ekonomi Negara dan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan
SBY yang dianggap kontroversial yaitu :
1) Kebijakan
mengurangi subsidi BBM
Dilatarbelakangi
oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialhikan ke subsidi
sector pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
2) Kebijakan
Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Kebijakan
ini ditujukan untuk memberikan bantuan langsung berupa uang tunai kepada
masyarakat miskin namun pada kenyataannya kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan
yang berhak dan pembagiannya juga banyak menimbulkan masalah sosial.
Kebijakan
lain yang ditempuh adalah untuk meningkatkan pendapatan perkapita. Kebijakan
ini dilakukan melalui pengendalian pembangunan infrastruktur, melalui ajang
pertemuan pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan (tahun 2006). Event ini
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Dengan semakin
banyaknya investasi asing di Indonesia diharapkan jumlah kesempatan kerja juga
akan bertambah.
Perkembangan
dalam sector utang luar negeri juga menggembirakan. Pada pertengahan bulan
Oktober 2006 Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF. Lalu masa ini
juga ditandai dengan adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Namun,
tingkat inflasi pada masa ini sempat membumbung tinggi.
Pada tahun 2010, perumbuhan ekonomi
Indonesia tumbuh signifikan seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global
yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009. Terbukti, perekonomian Indonesia mampu
bertahan dari ancaman pengaruh krisis ekonomi dan finansial yang terjadi di
zona Eropa. Walaupun korupsi dan kemiskinan tetap menjadi masalah di Indonesia
namun setelah beberapa tahun berada dalam kepemimpinan nasional yang tidak
menentu, SBY telah berhasil menciptakan kestabilan politik dan ekonomi di
Indonesia.
Era SBY meninggalkan beberapa masalah
yaitu implementasi pembangunan ekonomi terkesan seadanya karena belum muncul
strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Hal ini
dibuktikan dengan masih banyaknya tingkat angka pengangguran dan kemiskinan
yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan.
sumber :
http://putrihemasita.blogspot.com/2014/04/sejarah-perekonomian-indonesia.html
Komentar
Posting Komentar